Jika sudah mulai berbuah lebat, kakak-kakak perempuan saya yang lihai memanjat dan memetik buahnya sebelum kecolongan di makan kalong atau kelelawar. Saya menunggu di bawah menyiapkan keranjang, menerima lemparan kecil dari kakak untuk menangkap jambu agar tidak jatuh bonyok.
Setelah dicuci bersih, jambu bisa langsung dimakan, rasanya sangat manis. Kadang saya nekat memakan sebiji-bijinya. Meski kawan-kawan yang turut kebagian jambu mengatakan: jangan makan bijinya, nanti kena usus buntu! Ah, tetap saja saya menikmatinya sampai habis tak tersisa. Di lain cara, Ibu membuatnya menjadi Setup Jambu Biji seperti resep yang Mbak Widz tulisan dari Emek.Â
Bapak yang sangat menyukai setup ini. Saya biasanya dapat dua atau tiga suapan air setupnya yang enak dan segar. Perpaduan dari sari jambu dan aneka rempah yang tercampur di dalamnya. Namun, kami lebih menyukai jika disajikan dingin setelah disimpan di dalam kulkas.Â
Setelah saya beranjak remaja, saya baru tahu jika kesegaran setup jambu biji, karena ada bahan kayu manis atau cengkeh sebagai penambah cita rasa dan aroma minuman.
***
Nah, tentang Pindang Bandeng yang resepnya turut pula disajikan dalam buku ini, mengingatkan saya dengan menu favorit keluarga, selain ceker ayam. Ikan Bandeng, meski banyak durinya, nikmat disantap dengan olahan apa saja. Entah digoreng, di masak pedas maupun pindang berkuah seperti ini.
Bila Bapak membawa atau mendapat oleh-oleh dari keluarga Semarang (demikian kami menyebut keluarga dari jalur Bapak) berupa Bandeng Presto atau Ikan Bandeng segar, maka Ibu mengolahnya menjadi pindang. Saya suka menyesap buah tomat yang menjadi bahan irisan dalam pindang tersebut, karena sudah berbalur dengan kuah yang sangat sedap.
Jika irisan potongan bagian kepala lebih besar, saya akan mengambilnya yerlebih dahulu sebagai lauk. Saya sesap hingga tulang yang tersisa, bahkan kepala ikan sudah tiada bentuknya lagi. Jika potongan bagian buntut lebih besar, saya merengek ke Ibu agar bagian itu buat saya saja. Eh, ternyata audah kesudulun Bapak atau kakak. Tinggalah saya manyun dapat bagian tengah. Tapi tetao saja lahap dan habis, tandas!
Saya berlinang air mata membaca buku ini. Mbak Widz mengaduk isi hati dan sudut-sudut memori saya tentang Ibu, rumah Belanda, masakan, dan keakraban keluarha saat kita masih berkumpul bersama dengan mereka.
Juga mengingat kebaikan Emek, seorang Ibu yang senantiasa bergeliat sedemikian rupa untuk anak-anaknya, menjamin asupannya, meski beras yang ditakar tinggal beberapa jumput saja.