Sependek ingatan saya, ada sekitar 6-7 kawan yang rumahnya sejalur dengan kami sejauh 10km dari sekolah. Ya, rumah kami bukanlah di kota, sehingga harus naik angkutan umum untuk bisa kembali ke kampung kami.
Mulai dari sekolah ke alun-alun kota, kami tempuh jalan kaki sekitar 1,5km. Lama menunggu angkot yang berkenan mengangkut kami bertujuh, tak dapat jua hingga lebih dari 30 menit. Matahari sudah semakin tumbang ke ufuk barat
Akhirnya dapat juga sih angkot, tapi bukan jurusan menuju kampung kami. "Naik saja, deh. Daripada kalian kemalaman.Â
Nanti turun di Pasar Bawang Klampok, ganti angkot." Akhirnya kami menurut, meski saya pribadi hanya membawa uang pas-pasan saja untuk sekali naik kendaraan umum. Tak mengapa, kami lumayan bwrdesakan dengan penumpang lain yang sudah duluan duduk.
Lumayan, 5,5km sempat tertempuh dengan kendaraan roda empat. Kami pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sepanjang 4,5km. Badan lelah, kaki linu pegel, tapi jiwa riang sambil ngobrol lelucon dengan kawan-kawan.
Sampai di rumah tepat adzan isya sekitar pukul 19.30an WIB saat itu, masih kena omel orangtua yang khawatir dengan keadaan kami.Â
Maklum, saat itu kan belum ada gawai. Pun di rumah tak punya failitas telepon. Setelah saya jelaskan pada Ibu, barulah beliau luluh dan menyiapkan makan malam yang masih tersisa untuk saya.
Ya, pada masa itu, angkot dari kota menuju kampung hanya tersedia hingga pukul 17.30an saja. Selebihnya hanya ada bis antarkota jalur pantura. Kalaupun ada becak, tergantung si Bapak Becak, apakah mau ngantar kami genjot becak sejauh 10km?
***
Saat mengikuti kegiatan Jamnas di Cibubur Jakarta semasa saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.Â
Ada agenda Mencari Jejak dengan menjawab dan mengerjakan beberapa tes di posko-posko yang ditentukan oleh Panitia. Tentu saja, dilakukan dengan berjalan kaki.