Selalu ada 'perang kecil' bila adegan minum obat berlangsung. Semua ngerubungi saya, memberikan semangat, yang justru membuat saya tidak nyaman dan menangis karena merasa dipaksa untuk 'sukses' menelannya.
Jangankan tertelan, yang masuk melalui tenggorokan justru pisang dan air minum, obatnya tetap saja berada di ujung atau tengah lidah. Itu selalu terjadi, dan mereka berseru, "lhaaa, ijeh ono kuwi!" (Nah, masih ada, tuh!). Sambil menatap saya dengan wajah gemas dan geleng-geleng kepala.
Akhirnya, saya gerus obat dengan gigi-gigi geraham di tengah 'lautan' air putih di mulut, baru kemudian ditelan. Perut kembung, biarin aja dah!
"Kalau gitu caramu minum obat, kan pahit, Nak," Ibu sedikit kecewa melihat saya meminum obat dengan cara ngremus. "Biar aja pahit, sing penting iso ngombe obat," jawabku tegas dengan setengah terisak.
"Heeeh? Ibu kasih jamu sekalian, lho!" Ancam ibu supaya saya kelak mau minum obat dengan cara yang benar. "Mending minum jamu aja, Bu. Meh pahit koyok opo, aku wani ngombe daripada mimik obat," jawabku. Bukan menantang sih, tetapi saya lebih baik minum jamu daripada minum obat tetapi selalu ada adegan obat tak tertelan malah pisang yang masuk.
Akhirnya, sebagai jalan tengah, ketika saya sakit, ibu meminta resep dari dokter berupa sirup atau puyer agar memudahkan saya meminumnya.
Jika yang tersedia berupa tablet atau kapsul, maka ibu menggerusnya terlebih dahulu atau membuka cangkang kapsul, menuangkan isinya dalam sendok bercampur sedikit air, dan dalam sekali telan, saya sukses minum obat.
Bahkan konsumsi vitamin berupa minyak ikan kemasan botol dengan bau amis menyengat, saya berhasil meminumnya, meski harus tutup hidung, menelan sungguh-sungguh agar tidak muntah. Bersegera makan buah yang tersedia untuk menghilangkan aroma amis yang senpat terhirup.
Ya, saya memilih obat atau vitamin berupa sirup atau puyer saja, agar tidakk terjadi drama.
***