Suatu ketika, saya memperhatikan foto profil whatsapp milik Mbak Sri Rohmatiah - Kompasianer yang tinggal di Madiun, Jawa Timur - yang tidak seperti biasanya. Ya, ada sesuatu yang berbeda.
Selama berteman dengan beliau di satu grup kelas penulisan online, lebih seringnya sih tanpa foto. Lalu, mulailah wanita cantik ini tampil dengan foto wajahnya, baik posisi menghadap kamera, atau dengan sudut pengambilan yang lain.
Namun tidak untuk saat saya memperhatikannya di hari itu. Beliau berfoto bersama seorang laki-laki! Eh, ngapain kaget ya? Boleh saja dong foto bersama lawan jenis. Tapi, saya pun menebak, ini karena sekedar foto bersama orang terkenal atau pria tersebut suaminya?
Sekilas, saya seperti mengenal dan tahu sosok pria itu. Wajahnya familiar karena -dulu - saya sering melihatnya muncul di acara talkshow atau liputan tertentu di layar kaca. Jantung saya berdegup kencang! 'Benarkah?' batin saya bertanya.
Segera saya klik foto tersebut, mengamati lekat-lekat. Saya tak mau berlama-lama menduga. Maka saya pun bertanya kepada Mbak Sri via perpesanan pribadi.
"Mbak, siapa laki-laki di foto profilmu?"
"Yo, Bojoku lah, Mbak. Moso aku foto karo wong lanang liyo berduaan."
Tak puas dengan jawaban beliau - sependek ingatan saya - segera saya mengajak ngobrol via telepon. Memastikan bahwa ia tidak bercanda.
Dan ternyata benar adanya! Laki-laki yang saya kenal sebagai pelukis hebat, yang karya-karyanya telah melanglang buana. Pria difabel yang sangat memotivasi masyarakat Indonesia dan dunia melalui hasil lukisannya yang dikerjalan dengan mulut dan tangannya itu, adalah suami dari Mbak Sri. Saya tak dapat membendung rasa haru dan kagum padanya!
Allah SWT mempertemukan keakraban dan persahabatan kami melalui Kompasiana. Padahal, sebelum aktif  menulis di sini, kami berdua berada di satu grup yang sama, hanya saja jarang bersapa karena kesibukan masing-masing.
***
Pada November 2021 lalu, Mbak Sri mengajak saya untuk hadir di launching buku kedua karyanya melalui zoom meeting. Tentu saja saya mengiyakan dengan sukacita.
Acara yang dipandu oleh Pak Cahyadi Takariawan selaku pembina dan pembimbing Komunitas Emak Punya Karya (EPK), berlangsung seru dan hangat. Tak hanya Mbak Sri seorang, ada dua penulis lainnya yang secara bersamaan menerbitkan hasil karyanya di komunitas tersebut.
Saya tak menyangka bahwa buku yang dituliskannya ini adalah buku kedua. Ternyata buku pertamanya telah terbit tahun 2020 lalu. Pantas saja, Mbak Sri jarang bersapa di grup penulisan kami, sehubungan saat itu sedang kejar tayang untuk penerbitan buku solo perdananya.
Melalui acara tersebut, saya pun melakukan pemesanan pembelian dua bukunya sekaligus. Bahkan satu penulis lainnya juga mengirimkan satu buku karyanya untuk saya, sebagai hadiah perkenalan sesama penulis. Alhamdulillah.
Buku-buku Mbak Sri hadir tangan saya pada bulan Desember 2021 lalu. Saya baru saja menyelesaikan membaca dua bukunya tersebut di bulan Januari 2022. Buku yang menjadi teman berkontemplasi, mengarungi samudera rasa sebagai sesama wanita. Kedua buku ini mengajak saya merenungi dan mensyukuri nikmat Allah SWT yang sungguh tak bisa kita dustakan.
Baca juga:Â "Rindu" Membuatku Termehek-Mehek (Resensi)
***
"Kalau Berbeda, Lalu Kenapa?" adalah judul buku solo perdana karya Mbak Sri, sebagai ungkapan isi hati dan cara mensyukuri nikmat kehidupan. Buku yang telah dua kali cetak di bulan Okrober 2020 dan Januari 2021, bersampulkan lukisan Mas Agus Yusuf, suami Sang Penulis.
Halaman demi halaman, saya nikmati tulisan Mbak Sri dengan penuh rasa haru, bangga dan termotivasi. Buku ini memfokuskan diri tentang Mas Agus, pemuda tampan asal Madiun yang telah memikat hatinya.
Mengisahkan latar belakang kedua orangtua suaminya, masa kelahiran, kanak-kanak, remaja, dewasa, pertemuan dengan Mbak Sri selaku calon istrinya - saat itu. Hingga mereka menikah dan menjalani kehidupannya yang harmonis.
Wanita ayu ini menyampaikan kisah suaminya dengan apik. Seluruh halaman dari buku ini menyelipkan motivasi dan nasehat berharga agar kita mencintai diri sendiri dengan apa adanya pemberian dari Tuhan.Â
"Mencintai dan menerima diri sendiri adalah satu-satunya obat mujarab untuk menghilangkan rasa rendah diri dan kecenderungan merusak diri. Dengan mencintai diri sendiri, kita akan memberikan yang terbaik pada diri, menghindarkan diri dari masalah yang dapat merusaknya"
Sebagai penulis, Mbak Sri menempatkan dirinya pula sebagai pembaca, yang bisa jadi penasaran apa dan bagaimana keseharian seorang difabel seperti suaminya.
Hal-hal kecil seperti makan, minum, dan bersosialisasi dengan kawan sebaya yang memiliki tubuh normal, beliau sampaikan dengan gamblang di buku ini.Â
Lebih dari itu, semangat tinggi untuk meraih cita-cita dan menjalani kehidupan layaknya pria normal lainnya, Mbak Sri sajikan dengan tulisan yang mengharu biru.
Beliau juga memperkenalkan tokoh-tokoh difabel sukses lainnya yang menjadi panutan Mas Agus dan Mbak Sri, hingga mereka berdua bisa melakukan pameran lukisan ke mancanegara. Semua berkat rahmat Allah SWT atas pertemanan yang baik dengan semua kalangan.
Kutipan motivasi dan nasehat agama yang disematkan dalam buku ini, mengajak kita pada perenungan bahwa kaum difabel bukanlah manusia cacat yang memiliki kekurangan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti yang paling konkret adalah manusia memiliki kemampuan intelegensia dan daya nalar sehingga manusia mampu berpikir, berbuat dan bertindak untuk membuat perubahan.
Sebagai makhluk paling sempurna itulah, kesempurnaan tidak semata dilihat dari wujud fisik. Apa yang terlihat cacat di mata manusia bisa jadi mengandung pelajaran yang sangat berharga. Bukankah "kecacatan" pada makhluk adalah bukti bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Maha Sempurna.
Kelahiran Agus - tanpa kedua tangan dan kaki kanan sebatas lutut - adalah bukti kesempurnaan Tuhan. Agus diberi tiga unsur di atas sebagai syarat kesempurnaan.
Demikian ungkap Mbak Sri atas penerimaan yang begitu besar dari Allah SWT atas keadaan suaminya.
Lalu, bagaimana dengan kehidupan pribadi seorang Sri Rohmatiah hingga akhirnya ia menerima pinangan lelaki difabel tersebut?
***
Tak sekedar menceritakan takwil mimpinya sebagai dasar keyakinan Mbak Sri menerima pinangan Mas Agus. Kisah tentang keluarga besarnya, kelahiran dirinya, masa kanak, remaja hingga masa dewasa saat keluarga besarnya berlapang dada menerima keputusan Sri tersebut, mengalir penuh rasa syukur dan ikhlas melalui buku Isyarat Cinta Sarat Makna.
Layaknya kisah manusia yang jatuh cinta dan siap melanjutkan jenjang yang lebih serius dalam mahligai rumah tangga, kadang tak semulus seperti apa yang kita inginkan. Demikian juga dengan Mbak Sri, yanga walnya mendapat penolakan dari keluarga besar, terutama ayahnya.
Namun bagaimana ayah beliau memutuskan untuk menerima pinangan Mas Agus untuk Sri, anak perempuan yang disayanginya? Pembaca bisa membaca cerita demi cerita di dalam buku ini. Sebuah keputusan yang tak mudah, namun dimudahkan segalanya oleh Tuhan, bagininsan yang beriman.
Ada canda dan cerita lucu dalam buku ini, saya pun menikmatinya dengan gelak tawa. Pun bergulur kisah sedih dan haru mewarnai rangkain seluruh isi buku yang memfokuskan diri pada diri pribadi Sang Penulis.
Jujur, beberapa bagian ada yang saya lewatkan berkenaan dengan kutipan-kutipan yang disematkan Mbak Sri di buku ini. Saya justru berulang-ulang membaca tulisan beliau yang tertuang dari isi hati dan pikirannya sendiri.Â
Menikmati bacaan buku, seolah-olah Mbak Sri sedang menyampaikan langsung kepada saya. Karena saya sudah sering mendengar suaranya via telepon, sehingga saya membayangkan sedang ngobrol langsung dengannya. Suara yang centil dan manja.
Kedua buku ini memberikan hikmah kepada saya, bahwa hidup ini adalah keberkahan dari Tuhan. Apapun keadaan dan kondisinya, bersyukurlah bahwa hidup dan kehidupan itu sangat berharga.Â
Wajar saja ada konflik dan solusi dalam pernak-pernik di dalamnya. Namun menerima dengan ikhlas takdir yang Allah berikan, bukan berarti pasrah dijalani begitu saja. Tekad kuat untuk maju, menjadi pribadi yang berkualitas dan religius, baik sebagai anak, istri dan ibu sekaligus dalam berumah tangga adalah peran yang terus berlaku dan diperjuangkan untuk kebaikan.
Kalimat mutiara yang menjadi motivasi saya setelah membaca buku Mbak Sri adalah yang menjadi pembuka pada salah satu bukunya tersebut:
"Lukisan itu pada awalnya hanya selembar kanvas; tidak indah, kosong, tanpa warna, dan tanpa rupa. Sama halnya dengan perjalanan hidupnya, sebelum menjalani kehidupan seperti saat ini, hidupnyabtak seindah lukisan. Hidup penuh coretan, goresan, dan warna-warni ujian. Jika goresan itu dirangkai dengan rasa syukur, hidup pun akan terasa indah dan menyenangkan."
Terima kasih, Mbak Sri dan Mas Agus, telah berkenan berbagi romansa kehidupan kepada kami melalui buku solo tersebut. Sukses selalu untuk keluarga, salam sehat dan bahagia senantiasa, aamiin.
***
Artikel 17 -2022
#Tulisanke-317
#ArtikelHumaniora
#KalauBedaLaluKenapa
#IsyaratCintaSaratMakna
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H