Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Kejujuran, Mata Uang yang Tetap Berlaku hingga Akhir Zaman

9 Desember 2021   14:09 Diperbarui: 19 Desember 2021   11:45 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang harus jujur. (sumber: freepik.com/ benzoix via kompas.com)

Melihat ilustrasi di atas, semudah itu kah kita menolak pemberian yang menggiurkan? Adakah tergoda untuk menerima sesuatu yang bukan hak kita? 

Banyak hal terjadi berkaitan dengan suap menyuap, menaikkan harga yang tak sesuai dengan standart, hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok. Uang masuk kantong sendiri. Ujung-ujungnya kasus korupsi mencuat di media massa.

Sejak dulu kala kita sering mendengar, kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana. Tapi kebohongan, kecurangan, masih saja terjadi. Seorang penipu ulung saja tak mau dibohongi. Apakah kejujuran telah menghilang dari muka bumi?

Lantas, apakah korupsi harus menjadi penyakit kronis bagi negeri ini? 

***

Ilustrasi penerangan di desa (sumber gambar: https://www.bengkulupost.co/)
Ilustrasi penerangan di desa (sumber gambar: https://www.bengkulupost.co/)

"Bu, ngapain Bapak tiap pagi nge-cek lampu dari rumah ke rumah?" Suatu ketika saya mengajukan pertanyaan ini saat masih usia sekolah dasar. Bapak berkendara dengan vespanya, mengamati lampu-lampu masih menyala atau tidak dari sudut-sudut rumah komplek pabrik gula.

Beliau menggunakan bel kendaraannya sebagai tanda pengingat jika ada yang belum mematikan. Untuk lampu jalanan, sudah diatur otomatis dari pabrik, padam dan menyala pada pukul tertentu

"Sudah tugas Bapakmu, agar semua disiplin mematikannya sesuai waktu. Biar listriknya hemat dan awet." Jawaban Ibu  belum lah saya mengerti.

Atau di kesempatan lain, "Bu, kok kita gak jualan es seperti tetangga yang lain? Kan kalau jualan, dapat duit." Ibu tersenyum. "Listrik yang dipake buat bikin es, bukan milik kita." Dan saya masih belum paham. Masih bocah.

Setelah Bapak tiada, usiaku mulai bertambah, dan belajar mencerna serta memahami tentang kegiatan beliau dan mengapa ibu tak berjualan es seperti tetangga, barulah saya mengerti maksud dan pembelajaran untuk mengatakan tidak pada korupsi.

Saat itu, pada masa kami masih tinggal di komplek perumahan pabrik gula, Bapak menjabat sebagai Kepala Masinis. Bukan pegawai penggerak lokomotif kereta api, melainkan istilah untuk menyebut pimpinan yang mengatur urusan kelistrikan di Pabrik Gula. Baik untuk operasional mesin pabrik, maupun suplai kelistrikan ke rumah-rumah karyawan dan lampu jalan. Kami tidak menggunakan listrik dari Perusahan Listrik Negara (PLN).

"Bapakmu patroli pagi, untuk memastikan bahwa semua warga di komplek rumah kita, disiplin memadamkan lampu di sekitarnya. Kenapa? Supaya hemat, awet, dan tidak digunakan semaunya, mentang-mentang listrik dari pabrik, gak bayar. Kan kalau boros, Bapak juga yang kena tegur dari pimpinan di atasnya." Demikian ibu pernah menjelaskan.

Baiklah, saya paham soal hemat energi dan awet, menjaga lingkungan yang takbisa tergantikan dengan energi lain. Kadang Pak Guru di sekolah juga mengajarkan hal itu.

Lalu, soal jualan es?

Sebenarnya, ibu pernah mengajukan keinginan tersebut kepada Bapak, karena mendengar pendapatan dari berjualan tersebut cukup lumayan di masa itu. "Kamu tahu apa jawaban Bapakmu?" Aku menggeleng.

"Jangan mentang-mentang Bapak ini Kepala Masinis yang pegang urusan listrik terus Ibu sebagai istri malah mau pake fasilitas pabrik buat kepentingan sendiri. Emangnya mau, hasil jualan es pake listrik pabrik, kamu setorkan ke bendahara kantor?"

Say terdiam mendengar cerita Ibu. "Bapakmu gak mau korupsi, Nduk. Meski hal sepele dan dianggap wajar bagi orang lain, tapi tidak bagi Bapak. Beliau gak mau kita mendapatkan uang dari hasil mencuri. Iku podho wae nyolong fasilitas yang bukan kepentingan kita." Kami pun berpelukan mengenang obrolan itu di masa remaja.

Selebihnya, saya sering mendengar dari obrolan ibu dan kakak, mengapa jabatan Bapak hanya sampai di situ dan jarang mendapatkan promosi atau pergiliran tempat bertugas di pabrik gula lainnya, itu karena Bapak memegang teguh prinsipnya pada kejujuran kerja, yang belum tentu di terima baik oleh kawan sejawat kala itu.

***

Ilustrasi catatan belanja (sumber gambar: https://m.dream.co.id)
Ilustrasi catatan belanja (sumber gambar: https://m.dream.co.id)

Saya sangat terkesan dengan kebiasaan ibu, yang dilakukannya sejak saya balita hingga kuliah. Mencatat masuk-keluar uang di buku khusus. Ya, catatan belanjaan harian dan catatan keperluan sekolah.

Beliau mencatat dengan detail, berapa rupiah yang masuk dan keluar di hari itu. Kami semua sudah hafal, jika ibu berteriak memanggil anaknya satu per satu untuk diinterogasi, berarti ada catatan yang kurang pas, dan diduga ada uang yang hilang dari dompet ibu karena ulah kami.

Jika ketahuan dan mengaku, ibu tak jera menghukum dengan pekerjaan rumah. Jika karena ibu yang lupa mencatat, kami yang berkerumun mengingatkan tentang belanjaan hari itu.

Ilustrasi gambar http://semangat45.co
Ilustrasi gambar http://semangat45.co

Bahkan, koin lima perak yang keluar dari dompet dan dipake buat kerokan saja, ibu tetap mencatatnya! 

Saya dan kakak sering iseng mengambil koin itu buat nambah biaya beli es tung-tung. Karena daku si Bungsu yang sering disuruh-suruh atas permintaan kakak, maka saya lah sering kena hukuman ibu.

"Kenapa mau disuruh ngambil yang bukan hakmu? Gak minta izin pula sama ibu. Mentang-mentang yang nyuruh  kakakmu, nanti lama-lama kebiasaan. Disuruh ambil hak orang lain oleh kawanmu, sahabatmu, keluargamu yang lain juga. Yang rugi kamu sendiri, Nduk. Nanti orang jadi gak percaya sama kamu."

Kakak juga kena omel, hukumannya lebih berat dari saya.. Ibu menasehati agar tidak mengajari adiknya mencuri, walau itu di rumah sendiri dan bernilai kecil bagi kami. Sejak itu, kami kapok mengambil uang kerokan, apalagi ngambil dari dompet ibu. Seumur-umur saya gak pernah melakukannya.

Kembali soal catatan cash flow rumah tangga, ibu melakukannya untuk memberikan contoh pada kami, agar jujur dengan uang pemberian suami, catat dengan detail, dipakai untuk apa saja, digunakan untuk apa, dibelikan untuk keperluan aja.

"Padahal Bapak yo nggak nanya nritik nang Ibu" senyum ibu mengenang masa itu saat berbagi cerita kepada kami.

Hal itu juga menjadi pembelajaran sebagai bentuk tanggung jawab darimana uang atau pendapatan berasal dan diperuntukkan untuk apa uang tersebut. Semua tercatat hitam di atas putih.

***

Kejujuran yang orangtua ajarkan kepada kami dari kegiatan sehari-hari, menegakkan prinsip yang takbisa dibeli dengan rupiah berpundi-pundi. Jujur iku ajining diri, kehormatan pribadi yang dijunjung tinggi.

Seyogyanya, sedari kanak, hal sekecil apapun tentang kejujuran, senantiasa diterapkan agar korupsi tak menjadi penyakit dalam diri dan keluarga.

Korupsi tak melulu soal uang yang diembat dan disikat. Tapi berkaitan dengan moral dan kualitas kebaikan. Amanah harus benar-benar dijalankan sebaik mungkin, tak goyah godaan dengan bujuk rayu yang memusnahkan kepercayaan.

Semoga, dengan berbagi kisah ini, harapan terbentang untuk kebaikan anak bangsa dan cinta pada kejujuran terus kita tanam. Kelak sifat-sifat baik inu menyinari, menuai dan  menebar di semua lini kehidupan.

Aamiin.

***

Artikel Diary lainnya bersama Bapak dan Ibu saya, silakan mampir:

#Tulisanke-286
#DiarySiskaArtati
#ArtikelHariAntiKorupsi2021
#NulisdiKompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun