"Buuuuu! Belang mulih, Bu!"Â
Ibu yang mendengar teriakan saya, berucap Allahu Akbar, keluar dari dapur menuju teras. Kami berlinang airmata sukacita menyambut Belang bersama tiga anaknya yang krucil-krucil mengeong lucu dan manja. Sayang, tak ada Momo bersama mereka.
Saya dan ibu meminta maaf ke Belang, sambil ngelus- ngelus, nyiapin makannya dan menata kardus dan handuk bekas untuk tepatnya beristirahat dengan ketiga anaknya.
***
Sayang seribu sayang, kembalinya Belang hanya berlangsung sepekan. Kami menunggu ia bermain bersama anak-anaknya, ternyata mereka tak kunjung pulang.
Kami kehilangan. Sungguh kehilangan. Mendoakan keberadaanya semoga baik-baik saja.
Setiap bertemu dengan kucing yang sewarna dengan Belang, saya jadi teringat padanya. Kadang saya memanggilnya, namun ia tak mendekat. Ah, kucing lain rupanya, bukan Belang yang dulu kami timang-timang.
Sejak saat itu hingga kini, saya tak lagi memelihara kucing. Tak ingin kesedihan datang berulang.Â
Justru sekarang, setelah saya ikut merantau, menikah dan mendiami rumah sendiri, kucing tetangga rajin datang ke halaman depan dan belakang rumah saya. Bukan karena betah dapat makan, tapi karena betah dengan rumput dan tanah segar yang menjadi sasaran pup mereka!
Alamak!Â
***