Kejadian ini sudah lama saya alami, sekitar 5 atau 7 tahun lalu. Persisnya saya lupa. Yang masih teringat, peristiwa tersebut berlangsung di kantor dinas suami yang lama, bukan yang sekarang ini di tempati.
Jelang sore, suami mengajak saya dan anak untuk bersiap mengikuti buka puasa bersama yang diadakan oleh kantor beliau. Tentu saja kami menyambut baik. Sudah lama tidak bertemu dengan perkumpulan istri pegawai dan juga rekan kerja beliau.Â
Menjelang maghrib, kami pun berangkat mengendarai sepeda motor bonceng bertiga. Anak masih usia sekolah dasaar saat itu. Saya sudah meminta suami, untuk tidak melalui jalur jalan belakang kantor dinas walikota guna menuju ke kantornya.
Entahlah, sejak saya tinggal di Samarinda, daerah sekitar itu sangat saya hindari. Karena setiap melintas di wilayah itu, saya merasa 'tidak nyaman' dengan hawa di sekitarnya. Ini karena saya pernah bekerja magang sebagai wartawan dan belajar jurnalistik di sebuah kantor sekitar situ. Juga pernah nge-kost di radius beberapa ratus meter darinya. Dan rasa 'tidak nyaman' itu membuat bulu tengkuk dan lengan meremang.Â
Kantor lama suami saya berada di sekitaran wilayah tersebut. Disana memang dijadikan sentra perkantoran dinas, juga rumah sakit swasta. Namun, ada pohon besar dan sudah tua, berjajar rimbun dengan pohon-pohon lainnya. Saya merasa, itulah sentra terkuat dari keganjilan yang saya rasakan setiap melintasinya.
Saya pernah mendengar dari kawan sesama jurnalis saat masih kerja magang di awal tahun 2000-an, wilayah tersebut awalnya adalah bukit yang cukup tinggi untuk area pemakaman etnis tionghoa pada masanya. Bahkan dekat kantor berita tersebut, masih ada makam yang dibiarkan tetap ada atas permintaan keluarga si empunya. Wallahu a'alam bishowab.
Kantor lama suami saya ini posisinya berseberangan dengan kantor berita tersebut. Dan pohon tua itu berada beberapa ratus meter saja. Halaman kantor pun terdapat pohon-pohon rindang yang nyaman dan adem.
***
"Dzikir aja bun, kita tetap lewat disitu aja, lebih cepat soalnya, daripada muter lewat jalan lain," demikian dukungan suami agar saya tak ciut nyali. Saya mendekap anak, membacakan dzikir sembari melintasi daerah tersebut menuju kantor.
Acara berbuka puasa pun tiba, kami sholat maghrib berjamaah, makan bersama, dan dilanjut dengan ramah tamah. Bahkan sholat isya berjamaah dan berlajut tarawih dilakukan juga di kantor.