Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Adakah Ruang Maaf dan Pengampunan di Hati Kita?

8 September 2021   08:49 Diperbarui: 8 September 2021   08:58 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi gambar:https://mobile.twitter.com/tausiyahku/status/943235541092458496/photo/1


Apakah buku diri ini, harus selalu hitam pekat?

Apakah dalam sejarah orang, mesti jadi pahlawan?

Sedang Tuhan di atas sana, tak pernah menghukum,

Dengan sinar mata-Nya yang lebih tajam dari Matahari.

Sepenggal lirik lagu yang dibawakan oleh Ebit G. Ade, sangat menyentuh hati dan pikiran saya sejak masa kanak hingga kini. 

Ketika ada seseorang yang berbuat jahat, atau difitnah melakukan perbuatan keji, tergiring di jeruji besi, entah menerima putusan hakim dengan rela atau terpaksa, para pelakunya harus menjalaninya.

Kadang saya berpikir, apa dan mengapa mereka sampai tega berbuat demikian. Namun, takdir pun dijalani, suka  atau tak suka, masa hukuman diselesaikan. Pengakuan telah disampaikan. Maaf, meski dengan hukuman mati sekalipun.

***

Budaya pengenyahan (bahasa Inggris: cancel culture atau call-out culture) adalah sebuah bentuk ostrakisme modern di mana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Mereka yang menjadi subjek pada ostrakisme ini dianggap "dienyahkan".

Merriam-Webster, dalam mendiskusikan sejarah istilah ini, mencatat bahwa cancel (secara harfiah bermakna "batal"), seperti yang digunakan dalam istilah ini berarti "berhenti memberi dukungan kepada orang itu," sementara Dictionary.com, dalam kamus budaya populernya, mendefinisikan cancel culture sebagai "menarik (mengenyahkan) dukungan untuk figur publik dan perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak pantas atau menyinggung".

Ungkapan "cancel culture" sebagian besar berkonotasi negatif dan biasanya digunakan dalam debat tentang kebebasan berbicara dan penyensoran.

Selengkapnya silakan bisa disimakmdi Wikipedia.

***

Lagu di atas penuh makna. 

Kadang, saya pun membayangkan andai saya seperti mereka, yang bisa saja khilaf melakukan salah dan dosa, hingga berujung perkara hukum.

Ada sebab dan musabab, hingga akibat yang harus ditanggung karena perbuatan yang kurang baik dan merugikan orang lain. Hal itu juga meruntuhkan kepercayaan orang kepada diri sendiri.

Belum lagi dampak pada keluarga dan masyarakat akibat ulah yang kita perbuat. Ya, andai saja kita seperti mereka.

Justru dari pengalaman orang-orang tersebut, kita banyak belajar, bahwa berbuat baik saja sering dinyinyirin, diocehin, dijulidin. Lah, apalagi berbuat kurang nyaman hingga perbuatan dengan sebutan keji dan nista? Tambah dirisak habis-habisan! Hujatan hadir bertubi-tubi.

Apakah kita telah kehilangan kata maaf dan memaafkan? Yang hanya tersedia saat lebaran, namun masih berlanjut dendam di hari kemudian?

Apakah ruang pengampunan bagi kesalahan seseorang telah hilang dari hati dan pikiran kita?

Kemanakah sirnanya, nurani embun pagi?

Yang biasanya ramah, kini membakar hati?

Apakah, bila terlanjur salah?

Akan tetap dianggap salah?

Tak ada waktu lagi benahi diri?

Tak ada tempat lagi untuk kembali?


Kembali lirik lagu itu terngiang. Saya terpekur. Jika terlanjur salah, apakah tetap dianggap salah? Sedangkan segala proses hukuman telah ditunaikan. 

Entahlah, apakah hujatan orang yang masih melekat, akan terkikis satu per satu dari diri yang telah berlumpur dosa dan kesalahan?

Hanya taubat yang in syaa Allah menjadi jalan membersihkan diri. Bersungguh-sungguh memperbaiki diri dan tak mengulang kelalaian dan kesalahan yang sama.

Memang, keluarga dan masyarakat belum tentu mau menerima kehadiran pendosa di tengah kita. Bibir masih saja mencibir, berlanjut dengan omongan nyinyir dan ingin menghukum, menghakimi, lagi dan lagi.

Kembali dari keterasingan ke bumi beradab

Ternyata lebih menyakitkan dari derita panjang

Tuhan, bimbinglah batin ini agar tak gelap mata

Dan sampaikanlah rasa inginku kembali bersatu


***

Mereka ingin kembali bersama kita, dengan sejumput doa, asa, dan cita-cita menjadi pribadi yang lebih baik. Boleh jadi -dulu- mereka adalah 'sampah masyarakat', 'penyakit publik' yang pantas dihukum berat.

Kini mereka pulang dengan harapan, kita bisa kembai menerima kehadirannya dan membimbing dalam kebaikan.

Masih adakah maaf dan pengampunan itu?

Hanya benak Anda semua yang bisa menjawabnya.

Izinkan saya mengajak Anda, pembaca Kompasiana dimanapun berada, tuk merenung sejenak dengan tembang dari Ebit G.Ade ini, di pagi yang sangat menawan ini.

Semoga Tuhan membersamai hati kita dengan kedamaian. Aamiin.


Salam sehat, salam bahagia

***

#Artikelke-250

#TulisanTopikPilihanAdminKompasiana

#CancelCulture

#TulisanSiskaArtati

Tulisan Artikel Siska Artati dengan Topil 'Cancel Culture' ditulis di laman Kompasiana, bukan di laman lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun