Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Obrolan yang Sarat Makna, Saya pun Menjalani Kehidupan dari Peribahasa Jawa

10 Juni 2021   13:38 Diperbarui: 11 Juni 2021   00:25 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mangan Ora Mangan Asal Kumpul | Ilustrasi gambar: https://dalangseno.com

Suatu kala dalam episode kehidupan, Bapak (almarhum) mengajak saya dan kakak jalan-jalan menikmati sore dengan mengunjungi pasar malam yang digelar di sekitar perumahan tempat kami tinggal. 

Pasar tersebut hanya ada setahun sekali saat masa giling tebu, menyediakan segala jajanan dan kuliner khas daerah, serta pernak-pernik jualan lainnya, pun lengkap dengan berbagai wahana seperti komedi putar, panggung lagu, dan lain-lain arena ketangkasan.

Bapak memberikan kesempatan kepada saya untuk membeli boneka sesuai kesepakatan sedari beberapa hari sebelumnya. Pilihan saya jatuh pada Teddy Bear berbaju merah motif kotak dengan pita di lehernya.

Saya memperhatikan bagaimana Bapak ngobrol dengan si Penjual, melakukan tawar menawar hingga mendapatkan harga yang disepakati. 

Selama proses itu, Bapak juga memberikan kesempatan untuk memilih dari berbagai ukuran dan tampilan si boneka. "Ono rego, ono rupo, Nduk." Demikian Bapak menasihati sambil mematut-matut boneka mana yang sekiranya pas untuk anak bungsunya ini. 

Awalnya saya tak paham maksud Bapak. Yang saya tahu, akhirnya mendapatkan boneka yang sangat saya sukai. Baru sekali itu saya punya, karena selama ini hanya punya mainan mobil-mobilan, alat kesenian, dan buku bacaan. Itulah boneka pertama saya.

Sampai di rumah, saya bertanya kepada Ibu (almarhumah), apa arti kata tersebut.

"Ada harga, ada rupa, Nak." 

Selanjutnya Ibu menjelaskan, apabila ingin mendapatkan barang yang diinginkan, tentu setiap harga yang tertera minimal memberikan gambaran bagaimana penampilan dan kualitas barang tersebut. 

Meski bukan berarti bahwa barang mahal itu selalu berkualitas bagus. Ada pula barang yang tampilannya sederhana namun juga mahal. Bisa jadi karena proses pembuatannya yang rumit, kreativitas dari si pembuat juga perlu dihargai. Saya pun belajar paham hal tersebut seiring berjalan waktu. 

Ya, menghargai pembuatan segala sesuatu karena menciptakan produk tidaklah mudah. Tentu juga, kita harus mengukur diri, apakah mampu membelinya sesuai dana yang kita punya. Agar tidak sekadar nafsu untuk memilikinya tanpa mempertimbangkan manfaatnya.

***

Ilustrasi gambar https://www.idntimes.com/
Ilustrasi gambar https://www.idntimes.com/

Berkumpul bersama dengan keluarga adalah momen yang sangat dirindukan bagi kami. Saat sarapan, makan siang, makan malam, atau menikmati suasana santai di malam minggu. 

Ada hidangan atau tidak saat menikmati kebersamaan, kami merasakan kebahagian dengan obrolan ringan yang tercipta. "Ngene iki lho rasane ayem tentrem, mangan ora mangan asal kumpul," seloroh Bapak. 

Peribahasa atau pepatah tersebut mencerminkan bahwa berkumpul bersama dengan sanak kerabat adalah hal yang menyenangkan, entah makan atau tidak, yang penting rukun dan saling menyayangi. 

Jangan sampai persaudaraan terputus hanya karena adanya harta. Kekerabatan tetap harus terjaga, apapun keadaan kita.

***

Saya pernah curhat ke Ibu soal pertemanan. Beberapa kawan sering menceritakan hal-hal yang mengunggulkan kekayaan keluarga atau orangtuanya, hingga terkesan saling menyombongkan apa yang dimiliki. 

Saya pun jengah, apalagi jika mereka bertanya tentang apa yang dimiliki keluarga kami. Pun jika tak seperti mereka, kemudian meluncur olok-olokan.

"Ojo dumeh!" Begitu komentar Ibu.

Saya pun penasaran, apa maksudnya?

Artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Sebuah ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. 

Ketika menjadi orang kaya juga jangan sombong terhadap orang lain, yang mungkin secara strata sosial atau kepemilikan harta benda berada di bawahnya. 

Kekayaan yang dimiliki bisa bermakna bagi orang lain. Misalnya, bisa membantu orang lain yang memerlukan dan sedang kesulitan. Ketika memiliki ilmu yang banyak pun tidak congkak dan  keminter. 

Maka itu perlu agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan meredam nafsu manusia untuk tidak serakah, sombong, menyepelekan orang lain dan seterusnya.

***

Ajining diri saka lathi, Ajining raga saka busana. 

Melalui peribahasa ini, saya menjalani kehidupan untuk menjaga lisan agar ucapan yang dikeluarkan bisa dipertanggungjawabkan. Seseorang 'dipegang' kepercayaannya karena lidah. Baik sebuah janji yang harus ditepati, kebenaran dari apa yang disampaikan. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana, kan? 

Sejatinya wibawa diri kita berasal dari sikap santun, menjaga adab dari lisan yang terucap. Itulah maksud dari Ajining diri saka lathi.

Berikutnya, mengenakan pakaian yang baik juga memiliki nilai tata krama di masyarakat Jawa khususnya dan lingkungan lain pada umumnya. 

Kata tersebut mengandung makna bahwa seseorang akan berharga jika dilihat dari penampilan atau busana yang dikenakannya. Namun bukan berarti kita menghargai orang hanya melihat dari penampilan saja. Itulah makna dari Ajining diri saka busana.

Ilustrasi gambar: https://m.dream.co.id
Ilustrasi gambar: https://m.dream.co.id

Takbisa dipungkiri bahwa pandangan pertama seseorang pada orang lain adalah kesan yang tertangkap dari penampilannya. Sebaiknya berpenampilan sesuai dengan kondisi atau tempatnya. Selain baju, tubuh juga harus tetap diperhatikan, seperti wajah, rambut, aroma tubuh.

Hargai diri kita sendiri dengan tampil rapi, bersih, nyaman dipandang. Hal tersebut juga sebagai bentuk penghargaan kita kepada orang lain yang ditemui, tidak asal-asalan berbusana.

Demikian, nasihat yang sarat makna tentang menjalani kehidupan yang saya peroleh dari orangtua. Melalui obrolan, terlontar peribahasa atau pepatah yang turun temurun dijadikan pedoman dalam berperilaku dimanapun berada.

Semoga berbagi tulisan ini, memberikan manfaat kepada para pembaca Kompasiana yang berbudi baik. Aamiin.

***

Baca juga: 

#Tulisanke-205

#PeribahasaJawa

Referensi: 1 dan 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun