Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru. Kegiatan ini saya dapatkan selama masa orientasi dan pengenalan sekolah selama sepekan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, menengah atas dan kampus.
Jauh sebelum mengikuti penataran ini, teringat masa pra-sekolah, yaitu saat bermain dan belajar di Taman Kanak-Kanak, disana tersedia pernak-pernik kegiatan lima agama (saat itu) yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hinda dan Budha. Bu Guru memperkenalkan hal mendasar tentang agama atau keyakinan yang dianut oleh para siswa. Lalu mengantarkan kami mengenal Pancasila justru dari pelajaran agama masing-masing.
Sejak masih kanak, kami diajarkan untuk menghormati dan tidak saling mengganggu, apalagi mengolok atau mencela kawan dari agamanya. Begitu juga dari asal sukunya. Bu Guru memberikan nasehat dan ajakan melalui kegiatan berkesenian, baik melalui dongeng, panggung boneka, seni drama dan praktek ibadah.
Kegiatan ini terbawa hingga memasuki Sekolah Dasar. Bahkan lebih meluas dengan dipraktekkannya nilai-nilai Pancasila dalam aktivitas sekolah. Seperti kepramukaan, keputrian (pelajaran pendidikan kesejahteraan keluarga), cinta tanah air (melalui kegiatan baris berbaris, persiapan upacara bendera, dll) dan masih banyak lagi.
Saya sendiri memiliki pengalaman yang mengesankan mengenai penataran P4 ini, karena mencoba praktek langsung dengan aktifitas sederhana bersama kawan-kawan, namun memahami bahwa nilai-nilai Pancasila sejatinya telah diterapkan dalam keseharian.
Pertama, mengenal kawan dari perbedaan agama. Tak dipungkiri bahwa kita terlahir dari latar belakang agama yang berbeda. Semua agama mengajarkan kebaikan, namun prinsip ketauhidan yang membedakan setiap insan memilih keyakinan yang dianutnya. Pun pada agama yang saya anut, bahwa bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku. Hal ini pula dilindungi oleh negara melalui hukum dan undang-undang yang bersumber dari Pancasila.Â
Melalui perbedaan ini, saya dan kawan-kawan menghormati keyakinan yang dianut masing-masing, bahkan saat penataran berlangsung, ada kawan yang mewakili dari agama masing-masing untuk memperkenalkan tentang agama, perayaan hari besar dan kegiatan yang biasanya dilakukan oleh penganutnya.Â
Kedua, mengenal aneka ragam budaya Indonesia melalui seni budaya dan karya sastra. Saya makin cinta dan bangga jadi orang Indonesia yang sangat kaya dengan bahasa, suku, karya seni dan sastranya. Disela kegiatan penataran, para pendidik memperkenalkan lagu-lagu daerah, rumah adat, baju daerah, bahasa lokal dan sastra Indonesia.Â
Ternyata teman semasa sekolah masih ingat, saat saya bermain gitar dan memainkan lagu Injit-Injit Semut di sela masa orientasi. Lalu berlanjut bernyanyi bersama lagu daerah lain yang dikuasai. Saya terkenang kejadian ini hanya beberapa bagian saja, namun kawan lah yang banyak bercerita tentang kenangan mengikuti penataran P4 di WAG SMP angkatan kami. Inilah salah satu bentuk mengenalkan cinta tanah air atas keberagaman budaya.
Bahkan di keluarga saya pun mengenal kebiasaan daerah yang berbeda, karena berbedaan suku dari ayah dan ibu. Demikian juga dengan kakak yang menikah dari suku lain. Hal tersebut menambah wawasan saya tentang budaya dan adat.
Ketiga, tak kenal maka tak sayang maka sejarah bangsa perlu diketahui. Ya, sejarah itu penting, agar kita tahu bagaimana semua bermula. Melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dan Tata Negara (kini Pendidikan Kewarganegaraan).Â
Perjuangan para pahlawan sejak dahulu kala menggapai kemerdekaan, semangat patriotisme dengan mengumandangkan ikrar dan lagu perjuangan. Bersatu padu meski berbeda suku, agama dan ras, semua kompak dan kokoh memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa ini. Itulah maka Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang terjaga sepanjang masa bagi negeri ini.
Bahkan saat membacakan Teks Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, lagu wajib nasional, menonton film sejarah perjuangan bangsa, membangkitkan rasa patriotisme dan bangga pada negara ini atas perjuangannya yang heroik!
Keempat, berkegiatan bersama keluarga, kawan sepermainan dan masyarakat sekitar. Siapa takkenal gotong royong? Ya, semua kegiatan menjadi ringan dilakukan secara bersama. Satu sama lain memiliki tanggung jawan dan amanah yang harus diemban. Baik kegiatan yang dilakukan di dalam keluarga kita, atau kerja kelompok dengan teman sepermainan, maupun legiatan besar yang melibatkan banyak orang seperti di lingkungan masyarakat.Â
Dengan melalui musyawarah dan hasil ketetapan yang telah disepakati alias mufakat, satu sama lain diharapkan menerima dan melaksanakan apa yang telah disetujui. Tentu dibutuhkan jiwa besar untuk menerima dengan lapang dada tanpa protes ini dan itu. Jika ada yang kurang berkenan, bisa menyampaikan dengan baik dan pula menerima saran terbaik.
Kelima, berperilaku baik dengan adab dan kesantunan yang diajarkan oleh agama maupun prinsip pergaulan. Agama menjadi landasan utama baik setiap insan dalam berperilaku. Karena Tuhan mengajarkan kebaikan pada manusia dan saling mengasihi, menghormati dan memiliki nilai kasih sayang yang ada pada-Nya untuk menjadi pedoman dalam bergaul dengan sesama.Â
Tatanan nilai dan norma sedemikian rupa diatur untuk kemaslahatan umat. Bangsa kita mengalami krisis ini, bahkan kita mudah tersulut kemarahan, kurangnya adab dan santun kepada orangtua, menurunnya kewibawaan orang yang berkedudukan. Bukan karena bangsa kita taklagi merasakan Pancasila sebagai nilai luhur, namun juga pendidikan agama yang masih saja dirasa kurang menyentuh pada generasi kekinian.
Semoga dengan memperingati Hari Lahirnya Pancasila, takhanya sekadar acara memorial dan seremonial saja, namun kita sebagai bangsa besar, benar-benar menanamkan hal tersebut dalam diri dan keluarga.
Sehat selalu, Bangsaku!
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H