Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Nostalgia Ramadan Masa Kecil, Kenangan Abadi Sepanjang Masa

19 April 2021   11:20 Diperbarui: 19 April 2021   11:25 1633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembaca Kompasiana yang ngangenin, 

Masa kecil selalu menyenangkan, meski di beberapa kejadian ada saja yang membuat kita mewek karena ulah usil kawan atau saudara sendiri. Bila mengingat kenangan yang silih berganti, maka senyum terkulum menghiasi wajah. Itu karena pun menganggapnya sebagai kelucuan masa anak-anak  setelah usia semakin bertambah.

Pun demikian dengan saya. Kali ini berbagi kisah mengenal bulan ramadhan saat memasuki usia empat atau lima tahun. 

Selain pengenalan dari Ibu Guru di Taman Kanak-Kanak, juga aktivitas sahur dan buka bersama dengan keluarga, setiap ramadan saya hanya menjalani puasa beberapa jam sebagai latihan. Pengenalan ini mengantarkan saya tentang pengetahuan puasa wajib bagi ummat Islam. 

Puasa setengah hari - berbuka saat adzan zuhur - saya lakukan pada usia sekitar enam atau tujuh tahun, kelas satu dan dua sekolah dasar. Kemudian ketika usia delapan tahun, berbuka saat adzan zuhur, kemudian lanjut puasa lagi hingga berbuka yang kedua pada saat adzan maghrib. Puasa bersambung, demikian saya menyebutnya. Orangtua melatih si Bungsu ini dengan cara demikian. Alhamdulillaah, akhirnya saya bisa melaksanakan puasa ramadhan secara penuh dari sejak sahur sebelum subuh hingga berbuka saat adzan maghrib dikumandangkan pada usia delapan tahun ke atas.

***

Kenangan demi kenangan manis akan suasana dan pengalaman ramadan di masa kecil mengalirkan kisah abadi di ingatan saya.

Perihal sahur, dengan sukacita saya bangun dan makan bersama keluarga. Hal yang unik bagi saya yang masih kanak-kanak, sarapan kok pagi-pagi banget, masih dalam keadaan mengantuk, tapi harus mengkonusmsi asupan makanan berat. Begitu pikir saya. Kakak dan orangtua menjelaskan sebisa dan semampunya agar si adik mudah mencerna, apa dan mengapa harus sahur.

Saat itu keluarga kami tinggal di rumah dinas lingkungan Pabrik Gula. Ada masa dimana bapak tugas dinas shift malam hingga pagi di bulan Ramadhan, sehingga saya menemani kakak mengantarkan menu sahur untuk beliau di kantornya justru ba'da tarawih di atas jam sembilan malam.. Biasanya kami tidak langsung pulang ketika mengantar masakan ibu. Sesampai di ruangan Bapak, terkadang beliau mengijinkan kami jalan-jalan sejenak melihat aktivitas pabrik di malam hari saat menggiling tebu. 

Saya menyukai suara mesin-mesin besar bergerak berirama, berdentum dalam ruangan yang sangat besar, bagai harmoni yang otomatis memainkan nada-nada. Apalagi jika mau bicara harus teriak-teriak supaya terdengar orang lain, agar mengalahkan deru mesin yang menggema. 

Esok pagi usah sholat subuh, baru kemudian kami kembali ke kantor bapak untuk mengambil peralatan makan sahur. Beliau akan pulang beristirahat pada jam delapan pagi, berbuka puasa sore bersama kami, lalu bersiap berangkat bertugas kembali. Demikianlah jika masa giling tebu berjalan saat bulan Ramadan.

Perihal kegiatan bulan ramadan dari pagi hingga sore hari, kenangan yang terlintas adalah saat saya mengikuti praktek kegiatan shalat bersama seluruh teman sekelas. Mulai dari cara berwudhu yang benar, belajar bacaan-bacaan shalat  dari Takbiratul Ihram, doa Iftitah sampai dengan tahiyatul akhir dan salam. Pula gerakan shalat yang benar beserta pemahamannya. Kadang guru juga memberikan pelajaran berupa doa-doa harian seperti doa sebelum dan sesudah makan, doa masuk atau keluar kamar mandi, doa bepergian, doa sebelum tidur dan bangun, dan lain-lain.

Sehubungan bersekolah di sekolah dasar negeri, ibu mendaftarkan saya ke sekolah madrasah agar saya lebih paham pelajaran dan kegiatan agama Islam. Kegiatan belajar-mengajar dilakukan di sekolah negeri yang sama. Pihak yayasan belum memiliki gedung sendiri saat itu, sehingga masih meminjam beberapa ruangan di sekolah kami. Disanalah saya belajar tentang huruf hijaiyah, menulis bahasa arab, imla (dikte), khat (menulis halus dasar seni kaligrafi), mengaji dan sejarah Islam.

Selama ramadan, ustadz khusus mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan bulan mulia ini, mengenalkan tentang puasa dengan syarat dan rukunnya, apa itu shalat tarawih, sejarah laitul qadar, nuzulul quran (turunnya Alquran) dan kisah-kisah kepahlawanan dari Para Nabi dan sahabat. Begitu pun dengan berbagai lomba digelar untuk mengisi kegiatan agar kami tak bosan menunggu waktu berbuka. 

Alhamdulillaah, saya sempat menjuarai lomba baca puisi dan mendapat hadiah berupa buku cerita bergambar tentang Khalid bin Walid - Sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal karena taktik militernya dan kecakapan dalam bidang militer.

***
Kenangan lainnya juga saat berbuka dan tarawih. Ya, berbuka dengan pernak-pernik kudapan dan hidangan buatan Ibu, sungguh kenangan yang akan terus berada di memori saya.

Hampir menu berbuka taklepas dari tangan ibu yang sangat handal dalam membuat cemilan dan makanan berat. Beneran kangen masakan beliau! Kakak perempuan tertua-lah yang mewarisi ketrampilan ibu dalam hal ini, karena sejak remaja beliau sering membantu dan diandalkan oleh beliau dalam urusan dapur. Ketrampilan saya sih, mengenal rasa masakan: enak dan enak banget!

Tarawih berjamaah untuk yang perempuan berbeda tempat dengan yang laki-laki. Bagi para bapak dan anak laki-laki, mereka tarawih di mushola pabrik gula. Sedangkan bagi para ibu dan anak perempuan, kami melakukannya di salah satu ruangan serba guna di lingkungan gedung rumah Administratur Pabrik Gula. Tempat terpisah ini karena ruangan mushola yang tidak cukup menampung jumlah jamaah. Setelah saya menginjak remaja, barulah mushola direnovasi dan diperluas sehingga bisa menampung jamaah wanita di bagian luar bertutup kanopi dan dikelilingi pagar tembok seringgi perut orang dewasa. 

Pulang dari tarawih, kami dengan sukacita membawa pulang makanan ringan atau kue-kue yang disediakan pihak panitia tarawih. Terkadang  kue-kue itu juga bikinan ibu, karena yang mendapat jadwal menyediakan kudapan buka puasa tersebut memesannya dari Ibu. Hahaha, saya dapat dobel, dong!


Nah, Makin seru, justru usai tarawih. 

Bukannya mengaji untuk khataman, kami malah bermain. Aduhai, kalau ingat yang satu ini, antara lucu, senang, tapi juga sedih. Yaitu bermain meriam bumbung!

Kami menamakan demikian, karena dibuat dari bambu besar yang dirakit sedemian rupa hingga mirip meriam. Ada terdapat lubang sebagai tempat menyulut meriam dan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Ketika obor kecil di sulut pada ujung batang bambu yang telah dibelit kain, kita dekatkan pada lubang tersebut, maka akan mengeluarkan bunyi dentuman di ujung bambu besar, duuum!!!

Kami memainkannya di halaman depan rumah teman yang langsung berhadapan dengan jalan perumahan pabrik. Teman saya ini dua lelaki kakak beradik. Kami bertetangga. Sengaja kami bersembunyi diantara pohon-pohon taman atau pot-pot besar supaya tidak telihat. Ibarat main perang-perangan, lampu teras pun kami matikan. Jangan sampai musuh tahu keberadaan kami. Setiap ada orang lewat, persis ketika mendekati depan rumah kami, maka siap-siap kami sulut obor kecil dan mendekatkan ke lubang meriam.

Duuum!! 

Bunyinya lumayan membahana, sudah pasti memekakkan telinga dan mengagetkan orang. Kami terbahak di balik persembunyian ketika orang yang lalu lalang terkaget dan mengeluarkan suara latah atau teriakan dzikir. Tapi itu saya lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Sejak kena tegur oleh para tetangga dan pengguna jalan, pun omelan dari orangtua, saya tidak ikutan lagi bermain meriam bumbung bersama mereka.

Senang karena permainannya yang seru. Sedih karena telah membuat orang kaget. Gimana kalau jantungan dan tiba-tiba terjadi sesuatu yang parah dari keusilan kami? Yah, namanya juga anak-anak. Kalau gak diberi tahu tentang bahaya dan resikonya, mana paham soal begitu. Jadi, ya sudahlah, kami pun meminta maaf melalui orangtua kami. Permainan kami alihkan dengan kembang api, baik yang batangan, roket dan mercon sur*) yang lebih aman.

Masa kecil saat ramadan,, masa-masa yang terus membekas dan terus dikisahkan hingga ke anak cucu. 

Setiap ramadan, punya kisahnya masing-masing.

Bagaimana dengan nostalgia Anda?

***

*)Mercon yang bentuknya bulat panjang, berisi bubuk kembang api. Ketika disulut, menyembur seperti air mancur, dan akan menimbulkan bunyi ledakan kecil ketika bubuk habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun