Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tak Perlu Menghilang, Selesaikan Utang dengan Hati Lapang

24 Maret 2021   10:38 Diperbarui: 24 Maret 2021   10:56 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: https://m.dream.co.id

Pagi ini perasaan saya tergugah usai membaca artikel Mbak Anis Hidayatie yang berjudul Sebelum Hutang Rajin Datang, Sesudah Dapat Menghilang.  

Betapa tidak. Bukan karena tersindir sebab saya juga punya utang pada beberapa orang, namun miris juga ya, jika soal utang-piutang bisa menjadi pemicu kerengganggan, ketidaknyamanan dan putusnya pertemanan, persahabatan bahkan kekerabatan. Lebih ngeri lagi bagi saya, jika orang taklagi percaya kepada kita, hanya karena urusan satu ini.

Gimana gak ngeri? Sudah dikasih kepercayaan untuk bisa mendapatkan pinjaman, kok ya disalahgunakan dengan menghilang begitu saja setelah mendapatkan dana yang dibutuhkan. Tuh muka meski letaknya disitu-situ aja, tetep wae lah berusaha dipindah, mlengos pas ketemu sama si Piutang. Entah karena malu karena belum bayar, entah malu takut ditagih, masih mending tetep tersenyum dan berkabar bahwa si Pengutang akan segera melunasi. 

***

Begini pemirsah, eh, pembaca.

Dalam kehidupan, adakalanya kita menjadi si Pengutang atau sebaliknya. Sudah pasti kita merasakan gimana berada pada posisi tersebut. Kalau kita punya utang, pengennya cepet-cepet melunasi. Jika kita yang memberi pinjaman, berharap orang yang meminjam tersebut segera mengembalikan, kan?

Nah, saya pribadi mengganggap bahwa utang adalah amanah. Disana terdapat kepercayaan orang lain kepada saya, bahwa saya akan melunasinya dalam tempo yang disepakati sesuai akad. 

Setuju dengan Mbak Anis, jika pada saat jatuh tempo ternyata belum bisa membayar, sampaikan baik-baik pada si Piutang, atas situasi dan kondisi yang kita alami, dan berjanji dengan kesungguhan hati untuk tetap membayarnya. Entah dengan tunai atau cicilan. Sing penting ngomong-lah! Ojo ngilang!*)

Kalau sampai ngilang dan malah berniat gak akan bayar, sanggupkah Anda menanggung tanggung jawab dunia akhirat? Urusan utang gak main-main. Bahkan bisa menyeret ahli waris jika urusan belum kelar.

Pengalaman pribadi, setiap memiliki amanah tersebut, saya mencatatnya dengan menyertakan tanggal, jumlah atau besaran rupiahnya, nama orangnya, tanggal cicilan atau pelunasan. Jika sudah terlunaskan, saya hapus dari catatan dengan menyampaikan rincian awal kepada si Piutang. Karena justru mereka yang kadang tidak mencatat. Alhamdulillah, selama ini sih, mereka percaya dengan saya. Sebaliknya, saya pun menjaga kepercayaan para Piutang.

Mengapa hutang-piutang harus dicatat?

Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)


Demikian Allah mengajarkan kepada kita tentang muamalah ini. Catatan tersebut sangat diperlukan sebagai bukti dan mengingatkan kita akan amanah yang harus diselesaikan. Baik amanah kepada perseorangan atau lembaga (seperti perbankan). Juga perlunya saksi sebagai penguat adanya transaksi tersebut.

Saya pun pernah mengalami penagihan setiap hari melalui SMS dari sebuah bank atas Kredit Pemilikan Rumah. Hal ini terjadi karena saya belum bisa membayarnya saat jatuh tempo, meski selama ini jarang telat bayar. Saya pun menyampaikan baik-baik kepada pihak bank bersangkutan, meski mereka ngotot harus segera dibayar. Padahal saya nggak menghindar, nggak ngilang, sudah berusaha menyampaikan baik-baik. Giliran sudah bayar dan hampir tepat waktu pada pembayaran-pembayaran sebelumnya, gak ada tuh ucapan makasih atau apreasiasi dari pihak bank. Hehehe

Namun, pernah juga saya ditawari pinjaman oleh bank asing saat masih aktif bekerja penuh waktu di perusahaan tambang batubara. Sampai-sampai, teman ikutan pinjam dengan menggunakan nama saya - tentu dengan persetujuan saya. Alhamdulillah, kerja sama dengan teman, saya dan pihak bank berjalan lancar dalam pelunasannya. Eh, si Marketingnya ketagihan nawarin pinjaman ke saya. Apa karena kami lancar bayar sehingga dipercaya untuk dapat pinjaman? Entahlah, yang pasti sejak itu saya gak melakukannya lagi. Jika kepepet banget, baru deh berhutang-piutang dengan saudara atau sahabat.

Saya berprinsip, namanya amanah adalah akad. Harus dilakukan dan diselesaikan sesuai akadnya. Lakukan dengan ikhlas dan lapang oleh kedua belah pihak. Jangan sampai yang berutang atau memiliki amanah menjadi beban, sebaliknya, yang memberi hutang tidak menanggung lama kembalinya dana, karena mereka juga memerlukannya untuk memenuhi kebutuhannya.

Silakan bisa simak unggahan saya sebelumnya tentang 3 Hal yang Harus Dicermati Sebelum Memutuskan Berutang.

Semoga dengan berbagi cerita ini, bisa bermanfaat bagi kita semua, terutama oengingat bagi diri saya pribadi dalam menjaga amanah yang masih dijalankan berkaitan soal pinjam-meminjam dana.

Saran saya bagi yang punya hutang: utang iku ojo dipikir, tapi dibayar.**)

***

Referensi: 1 dan 2

*) yang penting bicarakanlah, jangan menghilang.

**) hutang itu jangan dipikir, tapi dibayar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun