Pagi ini perasaan saya tergugah usai membaca artikel Mbak Anis Hidayatie yang berjudul Sebelum Hutang Rajin Datang, Sesudah Dapat Menghilang. Â
Betapa tidak. Bukan karena tersindir sebab saya juga punya utang pada beberapa orang, namun miris juga ya, jika soal utang-piutang bisa menjadi pemicu kerengganggan, ketidaknyamanan dan putusnya pertemanan, persahabatan bahkan kekerabatan. Lebih ngeri lagi bagi saya, jika orang taklagi percaya kepada kita, hanya karena urusan satu ini.
Gimana gak ngeri? Sudah dikasih kepercayaan untuk bisa mendapatkan pinjaman, kok ya disalahgunakan dengan menghilang begitu saja setelah mendapatkan dana yang dibutuhkan. Tuh muka meski letaknya disitu-situ aja, tetep wae lah berusaha dipindah, mlengos pas ketemu sama si Piutang. Entah karena malu karena belum bayar, entah malu takut ditagih, masih mending tetep tersenyum dan berkabar bahwa si Pengutang akan segera melunasi.Â
***
Begini pemirsah, eh, pembaca.
Dalam kehidupan, adakalanya kita menjadi si Pengutang atau sebaliknya. Sudah pasti kita merasakan gimana berada pada posisi tersebut. Kalau kita punya utang, pengennya cepet-cepet melunasi. Jika kita yang memberi pinjaman, berharap orang yang meminjam tersebut segera mengembalikan, kan?
Nah, saya pribadi mengganggap bahwa utang adalah amanah. Disana terdapat kepercayaan orang lain kepada saya, bahwa saya akan melunasinya dalam tempo yang disepakati sesuai akad.Â
Setuju dengan Mbak Anis, jika pada saat jatuh tempo ternyata belum bisa membayar, sampaikan baik-baik pada si Piutang, atas situasi dan kondisi yang kita alami, dan berjanji dengan kesungguhan hati untuk tetap membayarnya. Entah dengan tunai atau cicilan. Sing penting ngomong-lah! Ojo ngilang!*)
Kalau sampai ngilang dan malah berniat gak akan bayar, sanggupkah Anda menanggung tanggung jawab dunia akhirat? Urusan utang gak main-main. Bahkan bisa menyeret ahli waris jika urusan belum kelar.
Pengalaman pribadi, setiap memiliki amanah tersebut, saya mencatatnya dengan menyertakan tanggal, jumlah atau besaran rupiahnya, nama orangnya, tanggal cicilan atau pelunasan. Jika sudah terlunaskan, saya hapus dari catatan dengan menyampaikan rincian awal kepada si Piutang. Karena justru mereka yang kadang tidak mencatat. Alhamdulillah, selama ini sih, mereka percaya dengan saya. Sebaliknya, saya pun menjaga kepercayaan para Piutang.
Mengapa hutang-piutang harus dicatat?
Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)