Delapanbelas Maret adalah milad ayah saya.Â
Sejak beberapa hari belakangan, saya sering senyum sendiri, mengenang masa-masa manis bersama beliau. Kebersamaan dengannya memang tak saya kecap dalam waktu lama. Ketika baru saja merayakan ulang tahun saya yang ke-9, sepekan kemudian beliau berpulang ke Rahmatullah.
Tergambar jelas kenangan tentangnya. Hampir takpernah absen memeluk saya jelang tidur malam sembari mendongeng, bercerita kisah lucu, ngobrol ringan dengan kakak-kakak, hingga saya tertidur lelap. Cerita rakyat yang membekas pada ingatan saya, ada di unggahan ini. Saya sangat antusias menyimak karena beliau membawakan dengan suara dan intonasi yang berbeda sesuai tokohnya. Bagi saya, Bapak - demikian saya memanggilnya - adalah dalang keren di mata anak bungsunya.Â
Ada kegiatan istimewa yang saya suka dari Bapak, bermain musik! Waaah, ini beneran yang selalu saya tunggu saat Bapak memiliki waktu senggang di tengah kesibukannya. Kalau Bapak sudah ambil gitar, memetik dawai dan mengantarkan nada, saya pasti segera mendekat.Â
Lagu-lagu lama era 60-an atau 70-an mengalun merdu dari bibirnya. Terkadang, ibu turut menyaut dari kejauhan menyambut lagu yang dinyanyikan.
Bapak dan ibu mengajarkan saya menyanyi sejak taman kanak-kanak. Lagu yang sangat disukai adalah lagu-lagu perjuangan, lagu wajib nasional, lagu daerah dan lagu pilihan lainnya.
Seperti Nyiur Hijau, Serumpun Padi (kedua lagu tersebut pencipta: R. Maladi),  atau Rayuan Pulau Kelapa (Pencipta: Ismail Marzuki). Nada-nada yang syahdu dengan rangkaian lirik yang puitis, beliau ajarkan pada saya dengan alunan yang pas. "Bapak suka suaramu yang bening, lantang, dan nafasmu yang panjang. Apik, Nduk." Begitu puji Bapak suatu masa saat saya menyanyikannya diiringi petikan gitar. Saat itu saya belum tahu nama tekhniknya, yang ternyata disebut dengan head voice atau falsetto
Kadang, saat hanya bisa berkisah pendek jelang tidur, Bapak meninabobokan saya dengan lagu-lagu daerah, meski hanya sayup bergumam dengan nada, bermain tebak-tebakkan dengan kami, berebut menyebut judul lagu dan asal daerah.
Momen indah kebersamaan kami, saat berkumpul bersama di teras rumah ba'da Isya. Bulan purnama menyapa lingkungan perumahan dinas yang kami tempati. Cahaya terangnya menyinari dari balik rindangnya pepohonan, menembus halaman rumah yang asri. Segera kami engusung kursi dari ruang keluarga menuju teras, membentuk setengah lingkaran. Ansambel musik siap dimainkan!
Bapak memetik gitar, kakak-kakak berbagi tugas memainkan ukulele, tamborin, kastanyet, dan saya ketipung (jika diperlukan). Ibu kebagian menikmati nyanyian kami, atau ikut ambil bagian bila musik berirama keroncong disajikan. Ibu menyukai lagu dengan irama ini.Â
Kegembiraan menyelimuti keluarga kami, kebersamaan yang membawa kenangan manis dan indah hingga saat ini. Gelak tawa mengiringi, jika Bapak menyengaja memainkan nada fals di tengah kami asyik bernyanyi. Dan sederetan lagu yang sudah tersajikan, ditutup dengan Hamba Menyanyi (Pencipta: R.Soetedjo).Â
Entahlah, apakah anak milenial mengenal lagu-lagu era tersebut, yang mana seringkali dinyanyikan, diperdengarkan dan dilombakan? Yang jelas, jika perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia berlangsung, saya selalu antusias ikut bernyanyi di depan televisi, seakan mengikuti langsung di Istana Negara, berjajar di antara peserta Paduan Suara Gita Bahana Nusantara.Â
Tigapuluh delapan tahun telah berlalu tanpa kehadirannya. Namun jiwa seni beliau mengalir pada kami anak-anaknya. Saat rindu melanda, inilah lagu andalan saya yang nyanyikan untuk mengenangnya. Baik dalam lirih suara berteman bantal guling dan isak airmata atau dalam lantang suara dengan syahdu dan hidmat.
Di mana, akan ku cari
Aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyayi.
Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi.
Walau air mata, di pipiku
Ayah dengarkanlah! Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah, hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah, aku ingin bertemu
Untukmu, aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta. Aku ingin bernyanyi
Walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah! Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpiÂ
(Lagu Ayah - Rinto Harahap)
Doa terbaik untuk Bapak, jua Ibu. Saya yakin mereka berdua di surga bahagia. Izinkan ananda menjadi anak yang sholehah untuk kalian berdua, senantiasa mengalirkan doa hingga tutup usia menyusulmu kelak. Kabulkan ya, Allah.
Aamiin.
***
Referensi lirik lagu: kapanlagi.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI