Atas berbagai pertimbangan matang, akhirnya saya mengajukan pengunduran diri dan disetujui oleh kantor, sekaligus dapat gaji rapelan.Â
Sedih berpisah dengan sesama rekan kerja dan berpamitan dengan pendengar setia. Namun, saya lakukan dengan suka cita. Yakin bahwa ada saja rezeki buat saya di tempat kerja yang lain.
Sebenarnya pada saat yang bersamaan, saya juga bekerja lepas pada sebuah perusahaan asuransi. Namun hanya bertahan satu tahun saja dan mengundurkan diri sejak menerima komisi pertama. Karena saya lebih fokus ke dunia penyiaran daripada bertemu janji dengan calon nasabah dan menawarkan produk perlindungan untuk finansial keluarga.
Pekerjaan kedua berlanjut menjadi wartawan magang
Merantau akhirnya menjadi pilihan saya. Menemani kakak yang sudah puluhan tahun di pulau seberang, akhirnya saya memutuskan dan meyakinkan diri saya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.Â
Lagi-lagi dengan modal latar belakang pendidikan komunikasi, sedikit bekal ilmu jurnalistik di masa kuliah, saya mencoba peruntungan menjadi wartawan.Â
Lika-liku pelatihan dan belajar dengan sesama rekan senior cukup mengasyikan buat saya. Karena ilmu di bangku kuliah dengan ilmu praktek di lapangan, kadang berbeda jauh dengan apa yang saya pikirkan.Â
Belajar dengan dunia nyata tulis-menulis yang harus berimbang. Aih, itu tidak mudah bagi saya yang notabene maunya nulis apa adanya yang dilihat langsung dari mata dan didengar oleh telinga.
Apa daya, gara-gara pulang larut malam meliput berita dan berbaku hantam dengan preman jalanan, keluarga mengkhawatirkan keselamatan saya dalam bekerja.Â
Mereka sarankan untuk mencari pekerjaan lain saja. Selama masa pemulihan fisik akibat perkelahian itu, akhirnya saya pun mengajukan pengunduran diri.Â
Bukan karena cemen, ya guys, tapi keluarga terutama ibu saya benar-benar tak mengizinkan saya kerja ala kuli tinta yang harus siap mengolah dan menyajikan berita 24 jam. Maka, saya harus mendengarkan nasehat ibu.