Pada suatu masa, saat rasa rindu melanda di malam purnama, aku sangat menginginkan Ibu berada di sisi. Keinginan yang sangat kuat, berasa ingin di dekap, dalam balutan hangat. Ingin kubersandar pada tubuhnya yang memiliki aroma khas, wangi seorang ibu yang selalu menguarkan ketegaran, ketegasan, kedisiplinan dan doa terbaik untuk kami, anak-anaknya.
Ibu sedang nun jauh di sana, terpisah jarak dan waktu, namun kuyakin batinnya merasakan kegundahan anak gadisnya. Hingga akhirnya dalam sejenak rentang waktu, beliau sempatkan berkunjung ke asrama, tempatku merantau menimba ilmu.
Oh, Ibu, dalam pelukannya aku mengadu, sepuasnya. Meluruhkan rasa pilu, gulana yang hadir bertalu-talu. Dengan sekali-dua belaian, luruh satu per satu kesedihan itu, berganti kekuatan baru yang merayap meliputi jiwa ragaku. Nasihat dan petuahnya menyadarkanku atas sesuatu, bahwa ridho Ibu adalah ridho Allah.
Selama ini, aku telah abai pada wejangannya. Ada amanah yang tak tertunaikan. Rasa bersalah yang amat sangat, menyelimuti hari-hari yang terasa berat dilakoni. MasyaAllah, dengan senyummu, Ibu, semua lara dan duka hilang seketika. Dengan rona serimu semua gundah gulana lenyap dalam sekejap.
Siapa lagi yang harus kuhormati dan kujaga hatinya selain engkau, Ibu?
Siapa lagi yang harus kukasihi dan kulindungi hatinya selain engkau, Ibu?
Siapa lagi yang harus kudengar dan kujalankan wasiatmu selain engkau, Ibu?
**
Esok hari kuantar Ibu menuju stasiun kereta yang tak lengang. Bersiap pulang menuju kampung halaman. Kembali pelukan hangat tercipta, airmata bahagia pun tertumpah ruah sebagai kenangan.Â
"Sing kuat, ya, Nduk. Kamu bisa," demikian ia ucapkan untuk menguatkan. Kecupan sayang pun mendarat di kening dan kedua pipiku, itu yang selalu Ibu sematkan padaku. Sampai kapan pun aku adalah putri kecilnya yang selalu dalam balutan kasih sayangnya.
Sebelumnya, kami telah ziarah bersama ke makam bapak. Di atas pusaranya kami bertabur doa, bermohon kepada-Nya agar almarhum damai dan tenang, dilapangkan dan dimudahkan segala urusan dunia dan akhiratnya.Â
Sejak dari area pemakaman hingga stasiun kereta, kusandarkan diriku dibahu Ibu yang senantiasa kuat menyangga. Wejangan sepanjang perjalanan, diudar dalam kelembutan hati. Airmata tak henti mengalir, mengiyakan apa saja yang menjadikan diriku makin teguh.
"Ibu sehat selalu, nggeh. Maturnuwun sudah nemani seharian." Aku tercekat, perpisahan telah mendekat. Kupeluk kembali tubuhnya yang selalu kurindu aroma khasnya, kucium punggung tangannya dengan takzim. Tangan yang penuh kekuatan dan kasih sayang dalam mendidik dan membesarkanku.
Dari balik jendela kereta, Ibu lambaikan tangan dengan senyum mengembang, memberikan kecupan tanda sayang. Dari teras peron, kubalas lambaiannya dengan sepenuh doa: