Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Doa Ibu Sepanjang Masa

3 Maret 2021   18:39 Diperbarui: 3 Maret 2021   18:57 15221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: man2tanahdatar.sch.id

Pada suatu masa, saat rasa rindu melanda di malam purnama, aku sangat menginginkan Ibu berada di sisi. Keinginan yang sangat kuat, berasa ingin di dekap, dalam balutan hangat. Ingin kubersandar pada tubuhnya yang memiliki aroma khas, wangi seorang ibu yang selalu menguarkan ketegaran, ketegasan, kedisiplinan dan doa terbaik untuk kami, anak-anaknya.

Ibu sedang nun jauh di sana, terpisah jarak dan waktu, namun kuyakin batinnya merasakan kegundahan anak gadisnya. Hingga akhirnya dalam sejenak rentang waktu, beliau sempatkan berkunjung ke asrama, tempatku merantau menimba ilmu.

Oh, Ibu, dalam pelukannya aku mengadu, sepuasnya. Meluruhkan rasa pilu, gulana yang hadir bertalu-talu. Dengan sekali-dua belaian, luruh satu per satu kesedihan itu, berganti kekuatan baru yang merayap meliputi jiwa ragaku. Nasihat dan petuahnya menyadarkanku atas sesuatu, bahwa ridho Ibu adalah ridho Allah.

Selama ini, aku telah abai pada wejangannya. Ada amanah yang tak tertunaikan. Rasa bersalah yang amat sangat, menyelimuti hari-hari yang terasa berat dilakoni. MasyaAllah, dengan senyummu, Ibu, semua lara dan duka hilang seketika. Dengan rona serimu semua gundah gulana lenyap dalam sekejap.


Siapa lagi yang harus kuhormati dan kujaga hatinya selain engkau, Ibu?
Siapa lagi yang harus kukasihi dan kulindungi hatinya selain engkau, Ibu?
Siapa lagi yang harus kudengar dan kujalankan wasiatmu selain engkau, Ibu?

**

Esok hari kuantar Ibu menuju stasiun kereta yang tak lengang. Bersiap pulang menuju kampung halaman. Kembali pelukan hangat tercipta, airmata bahagia pun tertumpah ruah sebagai kenangan. 

"Sing kuat, ya, Nduk. Kamu bisa," demikian ia ucapkan untuk menguatkan. Kecupan sayang pun mendarat di kening dan kedua pipiku, itu yang selalu Ibu sematkan padaku. Sampai kapan pun aku adalah putri kecilnya yang selalu dalam balutan kasih sayangnya.

Sebelumnya, kami telah ziarah bersama ke makam bapak. Di atas pusaranya kami bertabur doa, bermohon kepada-Nya agar almarhum damai dan tenang, dilapangkan dan dimudahkan segala urusan dunia dan akhiratnya. 

Sejak dari area pemakaman hingga stasiun kereta, kusandarkan diriku dibahu Ibu yang senantiasa kuat menyangga. Wejangan sepanjang perjalanan, diudar dalam kelembutan hati. Airmata tak henti mengalir, mengiyakan apa saja yang menjadikan diriku makin teguh.

"Ibu sehat selalu, nggeh. Maturnuwun sudah nemani seharian." Aku tercekat, perpisahan telah mendekat. Kupeluk kembali tubuhnya yang selalu kurindu aroma khasnya, kucium punggung tangannya dengan takzim. Tangan yang penuh kekuatan dan kasih sayang dalam mendidik dan membesarkanku.

Dari balik jendela kereta, Ibu lambaikan tangan dengan senyum mengembang, memberikan kecupan tanda sayang. Dari teras peron, kubalas lambaiannya dengan sepenuh doa:

"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS. Al Isra: 24)

***

Semoga Bapak dan Ibu bahagia di surga Jannah-Nya, in syaa Allah, aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun