Kadang, aku langsung menuju ke kantor pos dekat kampus, jika sempat, untuk mengirimkan surat itu. Sekalian bila ada urusan mencairkan wesel, kiriman uang dari Ibu. Ah, kenangan yang membuatku tersenyum, Ry. Karena aku kan gak punya rekening bank buat transfer. Jadilah Ibu berkirim biaya menggunakan wesel. Pesan-pesan Ibu di kolom berita, selalu menggugah semangatku agar menjaga diri dengan baik di kota orang.
Diary, satu lagi, kamu masih ingat ini?
Ya, aku harus siapin koin seratus rupiah atau kartu telepon elektronik, agar bisa ngobrol sejenak, menikmati suara renyah di seberang sana. Seringnya sih buat request lagu ke penyiar radio kesayangan, Ry. Supaya suasana rileks dan romantis menemani saat menyelesaikan tugas-tugas kuliah di kamar asrama.
Kini, entahlah, dimana keberadaan mereka yang dulu mendampingi hari-hariku.
Tak ada lagi teriakan Pak Pos mengantar surat dan wesel. Tergantikan dengan lengkingan para kurir paket.Â
Lembar-lembar surat berganti dengan e-mail dan chatting di pesan singkat.Â
Dulu antri di telpon umum atau wartel, rela menunggu giliran demi bisa menumpah rasa pada seseorang yang ingin kita jumpai via telepon. Kini gawai di tangan, teknologi memuaskan pengguna dengan mendengar suara dan melihat wajah langsung via video call.
Namun, Diary, aku ingin romantis kita tetap terjaga.
Dalam guliran kata-kata penuh hasrat.
Yang taklekang oleh masa.