Assalamu'alaikum, Diary.
Apa kabar, sayang? Maaf ya, beberapa hari ini aku asyik dengan tulisanku yang lain. Bukan berarti aku melupakanmu. Tidak, say. Beneran. Buktinya, aku kembali berbagi cerita denganmu, nih.
Ry, masih ingatkan, kan?
Dulu, saat aku jauh dari keluarga, tinggal di asrama, dalam rangka kuliah di Semarang, hampir tiap malam kulewatkan menulis surat. Berlembar-lembar, pena tak habis mengajakku bicara, menuangkan isi hati, harapan dan cita-cita pada orangtua. Juga berbagi kisah anak kost pada sahabat, dan menjeritkan rindu pada si dia. Duluuu, Ry.
Semoga kamu pun masih ingat itu. Kita bernostalgi sejenak, ya Ry.
Kamu tahu juga kan, siapa yang paling banyak dapat kiriman surat dalam sebulan di asrama. Selalu aku, kan? Hahaha.
Amplop tebal bukan berisi lembaran kertas uang, tapi berlembar-lembar pula sebagai balasan. Mereka juga menumpahkan rindu yang sama padaku. Kalau isinya uang, bisa kena sensor sama Pak Pos.
Kamu saksinya, Ry.Â
Ketika malam makin sunyi, lembar demi lembar kertas surat telah sarat terisi, maka dengan rapi mereka masuk dalam amplop warna-warni sesuka hati. Siap untuk dikirim esok hari.
Pagi yang cerah, menyusuri trotoar kota yang mulai menggeliat menyambut aktivitas, kuselipkan surat di kotak oranye. Berharap Pak Pos mengambil dan mengantarnya pada nama yang tertera pada sampulnya. Sudah pasti telah terbubuhi perangko, Ry.Â