Assalamu'alaikum, Diary.
Empat hari lamanya kita taksua.
Kau tak kedinginan di sudut ruangan kamarku, kan?
Belakangan hari hujan terus mengguyur.
Semoga kau tetap hangat diantara kawan buku.
Diary, beberapa waktu lalu aku sempat melow, karena perasaan dan pikiran yang campur aduk, jelang kontrol kesehatan mata. Itu karena ketakutanku sendiri, membayangkan tahapan saat pengecekan detail pada retina.
Sabtu sore kemarin, adalah kontrol kedua pada dokter di klinik yang kudatangi. Paramedis menyambut dengan ramah, seperti biasa melakukan prosedur kesehatan dan administrasi. Lalu sesuai surat kontrol sebelumnya, mereka melakukan tahap pertama yaitu meneteskan obat pada kedua mataku, tujuan agar pupil mataku membesar.
"Ibu, seperti yang kita sampaikan sebelumnya, nanti akan terasa agak kebas, ya. Perlahan-lahan kemungkinan akan silau pada cahaya dan lebih buram penglihatannya."
Aku mengangguk, berusaha tenang dengan prosedur yang kujalani, sembari menggegam tangan suami, ia senantiasa menemaniku, Ry.
Semoga romantisnya gak cuma saat aku sedang begini.
Buram penglihatan?Â
Aih, sudah dua pekan aku tak melihatmu dengan jelas, apalagi ditambah dengan obat tetes yang baru saja membasahi netraku? Aku hanya bisa terdiam dan menyulut dzikir di hati.
Oh, rupanya momen keterdiaman menunggu jeda reaksi obat, kami manfaatkan berbincang dari hati ke hati, Ry. Belahan jiwaku berbagi rasa dan kecemasan, tentang dirinya, diriku, dan anak semata wayang kami.
Tumben, sore itu aku menjadi pendengar yang baik untuknya. Taksepatah kata meluncur dari bibirku, selain linang airmata haru, plus memang obat tetesnya pedih, Ry!
Diary, hampir dua jam kami menunggu panggilan ke ruang dokter, dan tiga kali mataku di tetes oleh paramedis.
Saat sholat maghrib berjamaah, kupanjatkan doa pada Rabb-ku, agar kiranya Ia perkenankan harpan kami, dan dimudahkan segala urusan hari itu. Apapun keputusannya, semua adalah atas izin-Nya.
Aku baper, Ry, rasa haru menyelimuti, retina dan korneaku baik-baik saja. Alhamdulillah. Dokter mantap mengizinkan aku menggunakan alat bantu penglihatan, Ry. Rasa syukur meluncur, tangis bahagia pecah.
Selama dua pekan pengobatan di rumah melalui resep dokter, mataku sembuh dari infeksi. Namun tetap menorehkan sejarah, ada sedikit baret-baretnya, nih. Aku harus lebih berhati-hati dalam menggunakan lensa korektif lembut yang biasa kukenakan.
Diary, aku bilang ke dokter dengan sedikit terisak,
 "Dok, terima kasih atas dukungannya. Keinginan saya yang utama hanya satu, Dok. Allah mengizinkan saya utk tetap bisa bertilawah. Rindu mengaji dengan tatapan mata yang lebih jelas dan tajam, dan bisa kembali mengajar dan menulis lagi. Saya belum tentu sanggup membaca menggunakan huruf Braille, semoga Allah takmencabut nikmat penglihatan ini."
Ry, Bu Dokter baik banget. Beliau menguatkanku. Aku akan mempertimbangkan saran-sarannya untuk tindakan berikutnya bagi kesehatan mataku. Butuh mental lebih kuat untuk pengobatan berikutnya.
Sepanjang perjalan pulang, sungguh aku sadar, nikmat mana lagi yang kudustakan dari penglihatan ini? Bibir berucap taubat, mohon ampun kepada Allah, atas lalaiku selama ini. Dia masih sayang padaku dengan cara-Nya, Ry.
Di atas motor kupeluk kekasihku, Ia menggenggam jemariku ditengah menstabilkan laju kendaraan. Kami sempatkan makan malam  berdua. Meski takjelas memandang semangkuk Coto Makassar di hadapan, tapi sedapnya kusyukuri di setiap kecapan lidah.
Diary, doakan aku ya.
Agar aku bisa selalu bersapa denganmu, berbagi kisah dan cerita. Sampai disini dulu. Adzan Zuhur sejenak lagi berkumandang. Izinkan aku menyambut panggilan Rabb-ku.
Wassalamu'alaikum, Diary.
Harap sua denganmu lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI