"Itulah hukuman bagi anak-anak yang berbuat iseng dan harus bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya, Nduk." sahut Ibu menasehati gadis bungsunya.
"Tapi, kan, yang melakukan bukan Niar dan Resti, Bu. Masa kita semua dihukum, sih?" keluhnya kesal. "Harusnya yang dihukum itu yang memasang jebakan permen karet!" Gadis itu mendengus kesal. Memasang wajah cemberut.
"Iya, benar. Sayangnya, diantara teman-temanmu tidak ada yang mengaku dengan jujur, Nak. Makanya semua kena hukuman. Maksud Bu Guru, supaya ada yang mengakui perbuatan jahilnya itu, Niar. Agar menjadi pelajaran bahwa melakukan hal seperti itu tidak baik, bisa merugikan orang lain. Tuh, rok temanmu jadi kotor."
"Ya, Bu. Mudah-mudahan besok ada yang mau mengaku. Kasian Rani, pulang sekolah roknya lengket gara-gara permen karet." Nada Daniar penuh iba.
"Ya, sudah. Segeralah makan! Bantu ibu bawa piring-piring ke meja makan ya, Nduk. Susun yang rapi. Sebentar lagi Bapak dan kakak-kakakmu pulang. Ibu bereskan dapur dulu."
"Baik, Ibu sayang." Lagi-lagi gadis kecil periang itu mengacungkan jempolnya, memasang mimik menggemaskan. Bergegas Ia membawa peralatan makan dari dapur ke ruang keluarga dan menatanya dengan rapi seperti yang biasa dilihatnya ketika ibu dan kakaknya menyajikan makanan di meja makan.
Mulai hari itu, di pekan awal pengalaman masuk sekolah, pelajaran berharga didapatkannya, bahwa perbuatan jahil itu tidak baik. Daniar mengangguk mantap, mengingat nasehat ibundanya dengan senyum mengembang.
***
Kisah Daniar sebelumnya, silakan simak disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H