Kejadian berikut ini, saya alami ketika mengikuti Latihan Ketrampilan Manajemen Mahasiswa saat saya kuliah di Semarang, Jawa Tengah.
Kegiatan ini dilaksanakan di sebuah gedung bertingkat, saya lupa, entah berlantai dua atau tiga. Kegiatan utama digelar di ruangan utama di lantai dua.Â
Tidak terlalu tua, namun bangunannya berdesain gaya lama dengan pintu yang tinggi dan jendela-jendela besar di tiap ruangannya. Bercat putih dan bersih. Letak gedung ini agak dekat dengan kampus. Karena saya cukup berjalan kaki bersama teman lainnya menuju ke sana. Acara pelatihan berlangsung tiga hari. Mulai dari jam 07.30 s.d 20.00 WIB. Dan kejadian yang menimpa saya berlangsung  sekitar setengah jam di hari kedua.
Saat itu berlangsung sesi debat dan penyampaian argumentasi dari beberapa kelompok. Berlangsung sejak jam empat sore hingga jelang maghrib. (Lagi-lagi, kejadian yang menimpa saya ada di sekitar pukul 5-an sore). Saya begitu antusias mengikuti sesi ini, makin seru jika ada yang menanggapi, entah setuju atau menolak sebuah pendapat. Saking serunya, saya makin aktif mendebat, menyampaikan ketidaksetujuan pada kelompok lain, hingga tak terasa emosi saya menguat.Â
Saya merasa gerah dengan jawaban yang dilontarkan kelompok lain, sampai-sampai tak menghiraukan silaunya cahaya sore yang merangsak masuk ruangan dari jendela yang terbuka lebar di samping meja. Pokoknya, fokus aja dengan kalimat-kalimat yang saya lontarkan untuk menyanggah kelompok lain.
Tiba-tiba, salah seorang panitia (kakak kelas saya) menghampiri dan berbisik, "Sis, ke ruangan panitia sebentar, ya."
Saya makin emosi. Dibisikin, saya balas mengomel,"Apaan? ini masih sesi debat, Kak! Kesempatan saya bicara belum selesai!"
Semua mata mengarah ke saya. Moderator menenangkan suasana. Kakak kelas saya segera menggamit lengan saya, sambil berbisik lagi, "Penting, dek!"
Bak kerbau dicocok hidung, sekejap saya manut aja melenggang mengikutinya, meninggalkan ruangan besar, menuju ke ruangan panitia.
Di sana hanya ada satu meja panjang, bertumpukkan tas-tas dari para pemiliknya. Dua kursi dan satu sofa panjang. Yang bikin jengkel, saya disuruh duduk selonjor di lantai bagai seorang pesakitan!
Ada empat kakak kelas yang menemani saya di ruangan kecil itu. Saya mengenali mereka semua. Dua perempuan -kebetulan satu kost di asrama putri- dan dua laki-laki adalah kakak kelas yang akrab di kegiatan kajian kampus.