Sosoknya lincah, berperawakan sedang. Meski sudah separuh abad usianya, beliau gesit melakukan segala aktivitasnya. Mulai dari pagi menyiapkan kebutuhan keluarga, mengajar mengaji, hingga sore menjelang untuk berkumpul bersama suami dan anak-anak tercinta.
Ustadzah Noral, demikian saya memanggilnya. Beliau adalah guru pembimbing tahsin dan tahfidz yang menyemangati saya hingga mendapatkan hasil syahadah (bukti tamat belajar serta izin dari guru kepada murid untuk mengajarkan ilmu yang diberikannya kepada orang lain). Saya mengenal beliau sejak tahun 2010 saat belajar mengaji dengan para bunda di lingkungan kelompok bermain tempat anak saya bersekolah.
Berbekal pendidikan sebagai sarjana ekonomi, awalnya wanita paruh baya ini memiliki pengalaman bekerja di perusahaan swasta selama 11 tahun. Namun, ia memutuskan untuk mengundurkan diri setelah memiliki anak. "Saya pikir, rezeki Allah yang atur, Bun. Atas anjuran suami juga agar saya bisa aktivitas dari rumah, menemani anak," demikian jawabnya ketika ditanya alasan pengunduran dirinya.
Sebagai muslimah yang terbiasa bekerja, tak lantas membuatnya hanya berdiam diri saja di rumah. Berbekal komunikasi dan pertemanan yang baik, mulailah ia berkenalan dengan komunitas belajar mengaji dengan metode Qiroati pada saat anaknya masuk di Taman Kanak-Kanak.
Saat itu, anak-anak di TK tersebut belajar mengaji dengan metode Qiroati. Hal ini membuat beliau semangat untuk belajar kembali mulai dari awal, bagaimana membaca qur'an dengan tartil dan memperbaiki bacaan berkaitan dengan makhrajul huruf-nya.
"Zaman kita kecil dulu kan, ngajinya metode alif-alif-an. Nah, saya tertarik dengan metode Qiroati ini ketika para ustadzah mengajarkan ke anak-anak. Jadi, saya ingin belajar, supaya cara membacanya sama dan bisa mengajar ulang ke anak saya di rumah."
 Qadarullah , ada seorang kawan yang memberikan info kepada Ustadzah Noral bahwa di TK lainnya ada pembelajaran Qiroati untuk ibu-ibu, maka beliau langsung mengambil  kesempatan tersebut. Alhamdulillah, suami pun mendukung dan memberikan izin kepada istri tercintanya.Â
"Membolehkannya dengan syarat, bun. Anak tetap dalam pengawasan." Tuturnya dengan senyum mengembang. Maka mulailah di tahun 2006, ustadzah belajar mengaji dengan metode tersebut.
Jadwal belajar mengaji saat itu dimulai pukul 14.00 WITA. Ustadzah Noral harus mengkondisikan anak-anaknya yang waktu itu masih berusia 5 tahun dan 1 tahun 8 bulan.Â
Siang setelah sholat Dzuhur, mereka  harus tidur. Pada saat mereka tidur, beliau meminta bantuan tetangga untuk menjaga anak-anaknya hingga pulang kembali sebelum waktu ashar. "Alhamdulillah, anak-anak belum bangun," demikianlah kelegaan setiap kali pulang dari belajar mengaji.
Proses belajar yang beliau lalui dibawah bimbingan Ustadzah Yuni sejak dari buku 2 sampai dengan buku 6 ditempuh selama kurang lebih 10 bulan. Sedangkan kelanjutan pembelajaran buku Gharib dan Tajwid, beliau mendapat bimbingan dari Ustadzah Nurul Qomariyah.
"Pada saat itu saya sempat ditolak dengan Ustadzah Nurul untuk jadi murid beliau, karena saya masih murid dari ustadzah di perkumpulan bunda-bunda di TK lain, kan. Setelah kami bicarakan baik-baik kepada ustadzah di TK bersangkutan dan diskusi dengan Ustadzah Nurul, akhirnya saya diperbolehkan menjadi murid beliau."
Ya, untuk menjadi murid mengaji, beliau lalui dengan semangat, tekad dan keyakinan. "Penuh perjuangan waktu itu agar bisa belajar dengan Ustadzah Nurul, Bun. Karena beliau kan waktu itu sangat tegas. Ghorib saya prosesnya panjang dan banyak iklannya," jelasnya sambil tersenyum. "Namun, ketegasan dan kedisiplinan beliau mengantarkan saya memperoleh syahadah, kalau tidak salah di tahun 2009."
Sebelum berkeluarga, Ustadzah Nural punya kebiasaan menulis impiannya pada sebuah buku, dream book . "Nulisnya saat masih 'zaman jahiliyah', nih. Saya nantinya pengen punya rumah, kendaraan roda empat untuk keluarga dan jadi muslimah yang baik, menutup aurat. Serta bisa melaksanakan rukun Islam yang ke-5. Dan punya keluarga syakinah mawadah warahmah."
Satu per satu, Allah wujudkan mimpi-mimpi yang dituliskannya, semua berkat wasilah interaksi bersama Al-Qur'an dan doa dari kedua orang tua.
Niat pertama Ibu dari dua anak ini ketika belajar membaca Alquran yang baik dan benar adalah untuk diri pribadi agar bisa mengajar anak. Setelah itu niat tersebut berkembang ingin ilmu tersebut dibagikan untuk anak-anan tetangga di sekitar rumah.Â
Atas saran dari ustadzah pembimbing agar dibuat lembaga maka terbentuklah Taman Pendidikan Qur'an (TPQ) Uswatun Nisa. "Karena kebanyakan muridnya waktu itu perempuan. Sampai sekarang sudah ada 13 anak yang sudah bersyahadah dan 2 orang membantu mengajar di TPQ." Rasa syukur terdengar dari ulasannya.
"Kalau saya kan sukanya mengatur waktu sendiri. Jika mengajar di sekolah jalur formal, harus mengikuti ketentuan dari sekolah tersebut. Niat saya dari awal mengajar hanya berharap dari Allah. Bantu doa ya bunda agar saya tetap istiqomah sampai Allah panggil kembali 'pulang'."Â
Demikianlah tekad beliau mengelola TPQ yang berada di rumahnya, di Jl. AW. Syahranie, Gang Melati No.11, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur.
Saya pun sebagai murid beliau, masih berusaha menjaga interaksi dengan setoran hafalan Qur'an kepadanya. Semangat beliau menular kepada murid-murid lainnya, bahkan para bunda masih rajin mengaji dan murajaah bersama. Pandemi tak menghalangi kami untuk bersua, tetap dengan protokol kesehatan.
Bismillaah, in syaa Allah perjuangan beliau beserta guru lainnya menghasilkan generasi Qur'ani untuk kemajuan peradaban negeri ini. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H