Tak jauh dari komplek rumah kami, terlihat mobil bak terbuka, bertutup terpal di bagian atas dengan tiang besi sebagai penyangganya. Persis di bagian belakangnya terpasang etalase kaca ukuran sedang, menjajakan aneka lauk yang bisa kita beli sesuai selera. Tersedia pula termos, beberapa gelas, gula dan persediaan untuk minuman.Â
Terpasang pula spanduk kecil yang memudahkan orang untuk mengetahui apa saja yang tersedia dalam dagangannya. Mobil terparkir tepat di bawah pohon rindang pinggir jalan. Rupanya si penjual juga menyediakan 1 meja kecil dan 4 kursi bagi yang ingin menikmati menu yang tersaji di tempat.
Tampak beberapa orang berkerumun untuk membeli. Saya baca spanduk itu tertulis 'sedia nasi pecel', menu sarapan yang sangat digemari oleh suami. Kami pun turut mengantri. Saya perhatikan ibu penjual begitu ramah. Senyum senantiasa menghias wajahnya dan tangannya cekatan membungkus permintaan pelanggan. Sang suami pun tak kalah sigap membantu menyediakan minuman.
Tiba giliran beliau melayani kami. Sama seperti sebelumnya, dengan ramah beliau bertanya mau beli apa, lauk yang mana, mau seberapa banyak, dan senyum itu selalu tersungging di wajahnya. Diselingi obrolan kecil berbahasa jawa yang cukup asyik, kami pun saling berkenalan. Bu Isti dan Pak Samijo, demikianlah nama mereka. Sejak itulah kami menjadi pelanggan beliau mulai tahun 2016-an.
Seiring waktu dan keuletan beliau berdua berjualan nasi pecel dan aneka lauk sarapan lainnya, beberapa bulan kemudian mulailah mereka membuka warung sederhana di lingkungan halaman Panti Asuhan Ruhamaa, tepatnya di Jl. P. Suryanata, Samarinda. Dengan menyewa tempat di sudut halaman area panti asuhan, persis berdekatan  dengan pintu ke luar parkiran motor yang disewakan untuk para pekerja tambang batubara, mereka pun menambah menu masakan lain.Â
Pak Samijo memdampingi istri tercintanya berjualan ketika sedang off dari jadwal kerjanya. Saat kami menikmati sarapan di tempat, kadang kami ngobrol ringan layaknya keluarga.
Boleh dikata, hampir tiap pagi saya membeli sarapan di warung Bu Isti. Saya hanya masak di siang atau sore hari untuk menu makan malam, membuat saya menjadi pelanggan setia beliau. Perhatian wanita paruh baya itu kepada kami cukup besar. Beliau sangat hafal dengan kebiasaan menu apa yang kami sukai. Bahkan ia tak segan mengolah menu yang kami inginkan. Ya, Allah, beliau baik banget.
Kebiasaan Bu Isti yang saya perhatikan dalam melayani pembeli adalah keramahannya. Wanita berhijab inj tak sungkan menyapa duluan, menyambut kami dan pelanggan lain, layaknya menyambut tamu. Lalu sigap melayani permintaan pembeli, tetap senyum dan ramah. Kadang terdengar tawa renyahnya. Satu hal yang saya perhatikan detail, ibu hafal dengan nama-nama pelanggannya.Â
Ia sebut dan sapa pelanggan dengan nama masing-masing, kecuali bagi pelanggan baru. Ibu akan perlahan menghafalnya, kemudian kelak datang lagi, akan disebut namanya. Seakan kami adalah keluarganya, anaknya, temen baiknya. MasyaAllah. Seakan kami bukanlah orang lain baginya.
Khusus di Hari Jumat, ibu menggratiskan minuman teh untuk para pembeli di warungnya. "Bu, kenapa digratiskan? Ga rugi, tuh?" Beliau tersenyum dan menjawab, "Bismillah, ya Bunda Siska. Itulah sedekah jumat kami. Semoga berkah buat warung. Sedekah lainnya ada juga kami lakukan. Doakan biar saya dan bapak selalu sehat." Bu Isti tersenyum bahagia, tanda keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang baik dan tak merasa rugi melakukan itu. Justru dengan sedekah, maka pahala berlipat yang menggantikannya. Aamiin.
Warung beliau memang ramai pelanggan. Bu Isti menyiapkan masakan dari rumah sejak jam 3 pagi. Usai subuh, beliau mulai membuka warung dan melayani pembeli. Karyawan tambang yang kerja pada shift sore-malam dan pulang di jam pagi, biasanya sudah mulai menikmati menu masakan beliau. Belum lagi pelanggan seperti saya yang harus aktifitas keluar rumah jam 7,  anak berangkat sekolah, suami ke kantor (sebelum pandemi). Mereka sempatkan mampir ke warung Bu Isti, walau sekedar beli lauk atau kudapan kue yang juga terjual di sana.Â
Ibu tak segan memberi tambahan pada takaran menu yang dijualnya kepada pelanggan dengan harga yang sama, memudahkan mereka jika ada kurang pembayaran. Sebaliknya, jika pembeli ada kelebihan bayar, Ibu meminta maaf belum ada uang kecil, mereka saling ridho saja buat ibu. "Jangan, ingatkan saya kalau lupa, ya," demikian Bu Isti sampaikan agar berusaha untuk memberikan kembaliannya.
Tak terasa waktu bergulir sedemikian cepat. Keakraban kepada kami khususnya, memasuki tahun ke-4 di 2020 ini. Pandemi melada, otomatis saya jadi jarang bertemu Ibu sejak diberlakukan lockdown di pertengahan Maret 2020. Setiap kali kami butuh lauk untuk sarapan, hanya suami saya yang keluar menuju warungnya. Hanya satu kali saya bertemu beliau, saat mau mengambil raport semester anak saya di Bulan Juni. Itupun hanya bersapa dari kaca jendela mobil.Â
Saya tidak keluar dari kendaraan roda empat itu, karena hujan. "Ibu, ada lauk ayam kesukaan Aqila? Maaf saya engga turun mobil, Bu." Lagi-lagi beliau tersenyum ramah dan menghampiri saya beberapa jarak. "Ga ada bunda, pas habis tadi." Saya mengacungkan jempol tanda tak mengapa. Lalu saya bersahut pamit untuk lanjut ke sekolah.
Siapa sangka, itulah terakhir saya bertemu Ibu setelah beberapa bulan tidak ngobrol seperti biasanya, karena masa pandemi. Ya, pertemuan rerakhir yang saya tangisi karena kerinduan saya padanya. Ada rasa menyesal, mengapa saya tak menyempatkan berkunjung ke warung beliau seperti biasanya, atau turun dari mobil saat itu, sekedar bersapa dan ngobrol ringan bersamanya barang sebentar.
Senin pagi sekitar pukul 07.00 WITA, 3 Agustus 2020, mata saya tertuju pada sebuah pesan pribadi yang masuk dari Mbak Ninik, salah satu admin di TKIT Ruhamaa. Tak biasanya beliau berkirim pesan Whatsapp kepada saya.
[Turut berduka cita atas  wafat nya Mbah  Uti Isti, warung penjual nasi di depan Bengkel Rodho. Tadi siang wafatnya. Semoga Allah menerima semua amal ibadah beliau, diampuni dosa beliau, dilapangkan alam kubur beliau dan ditempatkan almarhumah sebagai ahli Surga, serta keluarga diberi ketabahan. ]
[Ibu nasi yang jualan di depan Ruhamaa meninggal tadi siang, Bun]
Sontak aku saya terkejut, jantung serasa lepas, saya tercekat dan gugup. Innalillaahi Wa Inna Illaayhi Raaji'uun. Setengah berteriak saya berucap. Tangis saya pecah, lirih menyebut nama Bu Isti. Bibir terus mengicap asma Allah. Segera saya menelpon Pak Samijo. Begitu tersambung, saya menanyakan kebenaran berita tersebut dan beliau membenarkan. "Nggeh, Bunda. Beliau sedo hari Ahad kemarin ba'da zuhur. Sepurone dereng ngabarin Bunda. Belum sempet, belum kepikiran." (Ya, Bunda. Beliau meninggal hari Minggu kemarin setelah Zuhur. Mohon maaf belum memberi kabr ke bunda. Belum sempat, belum terpikirkan).
Saya seketika menangis sesegukan, sembari mendengar cerita bapak tentang sakitnya ibu sepekan sebelum berpulang. Rupanya kondoosi belau sedang drop karena kecapekan, sehubungan jualan warung dan juga mengurus nenek yang sedang sakit stroke. Bahkan beliau bersama keluarga mengurus proses pemulangan nenek ke Jawa agar bisa di rawat dan terapi disana. Bapak menyarankan Ibu untuk istirahat terlebih dahulu.
 "Akhire niku, bunda. Ibu berpesan, 'Yo wes, Pak. Warunge ditempeli kertas, tutup nganti tanggal 1 Agustus'.  Makanya sudah hampir seminggu kami engga jualan, supaya kesehatan Ibu pulih."  (Akhirnya itu, bunda. Ibu berpesan, 'ya udah, Pak. Watungnya ditempe kertas, tutup sampai tanggal 1 Agustus'.)
Dan benar saja, warung memang tutup hingga tanggal 1 Agustus, dan esok harinya, qadarullah, Bu Isti berpulang ke haribaan-Nya. Beliau tutup usia pada 50 tahun. Suami saya mengajak bergegas sulaturahim ke rumah Pak Samijo swharo setelah pemakaman. Duka pun menggelayuti kami.
Bu Isti bukan sekedar penjual nasi bagi kami. Beliau sudah kami anggap seperti 'ibu', seperti 'kakak', yang setia menemani aktivitas kami dengan menu-menunya. Bahkan saya juga belajar memasak di rumah dari resep beliau. Senyumnya, keramahannya, cekatannya, akan teringat selalu.Â
Sedekahnya tak hanya segelas dua gelas teh hangat, tapi cara beliau melayani pelanggan dengan hatinya, itulah sedekah wanita sederhana yang mungkin dipandang sebelah mata oleh orang lain yang dianggapnya sebagai hal yang wajar dalam melayani pembeli. Tapi bagi saya, beliau sosok yang luar biasa dalam berjuang bagi keluarga. Menu masakannya terolah dan terhidang dengan penuh cinta dan doa. In syaa Allah berkah didalamnya, karena kami pun merasakan kelezatan di setiap makanannya.
Selamat jalan, Bu Isti. Setiap melintas di depan warung, kami selalu teringat kenangan indah bersamamu. Panjang umur, ya Bu, karena kebaikanmu senantiasa disebut. Tak hanya oleh kami, tapi juga karyawan tambang yang rindu masakanmu, juga pelanggan dan orang-orang lain yang pernah mengenalmu. Aamiin.
***
Diambilkan dari tugas TULISAN INSPIRATIF milik sendiri, pada pelatihan kepenulisan Fast Track Very Special PayTren Academy Batch 1 - 2020. Terima kasih kepada Pak Samijo yang telah memberi ijin untuk share foto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H