Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melayani dengan Hati

29 Oktober 2020   08:59 Diperbarui: 29 Oktober 2020   09:10 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Khusus di Hari Jumat, ibu menggratiskan minuman teh untuk para pembeli di warungnya. "Bu, kenapa digratiskan? Ga rugi, tuh?" Beliau tersenyum dan menjawab, "Bismillah, ya Bunda Siska. Itulah sedekah jumat kami. Semoga berkah buat warung. Sedekah lainnya ada juga kami lakukan. Doakan biar saya dan bapak selalu sehat." Bu Isti tersenyum bahagia, tanda keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang baik dan tak merasa rugi melakukan itu. Justru dengan sedekah, maka pahala berlipat yang menggantikannya. Aamiin.

Warung beliau memang ramai pelanggan. Bu Isti menyiapkan masakan dari rumah sejak jam 3 pagi. Usai subuh, beliau mulai membuka warung dan melayani pembeli. Karyawan tambang yang kerja pada shift  sore-malam dan pulang di jam pagi, biasanya sudah mulai menikmati menu masakan beliau. Belum lagi pelanggan seperti saya yang harus aktifitas keluar rumah jam 7,  anak berangkat sekolah, suami ke kantor (sebelum pandemi). Mereka sempatkan mampir ke warung Bu Isti, walau sekedar beli lauk atau kudapan kue yang juga terjual di sana. 

Ibu tak segan memberi tambahan pada takaran menu yang dijualnya kepada pelanggan dengan harga yang sama, memudahkan mereka jika ada kurang pembayaran. Sebaliknya, jika pembeli ada kelebihan bayar, Ibu meminta maaf belum ada uang kecil, mereka saling ridho saja buat ibu. "Jangan, ingatkan saya kalau lupa, ya," demikian Bu Isti sampaikan agar berusaha untuk memberikan kembaliannya.

Tak terasa waktu bergulir sedemikian cepat. Keakraban kepada kami khususnya, memasuki tahun ke-4 di 2020 ini. Pandemi melada, otomatis saya jadi jarang bertemu Ibu sejak diberlakukan lockdown  di pertengahan Maret 2020. Setiap kali kami butuh lauk untuk sarapan, hanya suami saya yang keluar menuju warungnya. Hanya satu kali saya bertemu beliau, saat mau mengambil raport semester anak saya di Bulan Juni. Itupun hanya bersapa dari kaca jendela mobil. 

Saya tidak keluar dari kendaraan roda empat itu, karena hujan. "Ibu, ada lauk ayam kesukaan Aqila? Maaf saya engga turun mobil, Bu." Lagi-lagi beliau tersenyum ramah dan menghampiri saya beberapa jarak. "Ga ada bunda, pas habis tadi." Saya mengacungkan jempol tanda tak mengapa. Lalu saya bersahut pamit untuk lanjut ke sekolah.

Siapa sangka, itulah terakhir saya bertemu Ibu setelah beberapa bulan tidak ngobrol seperti biasanya, karena masa pandemi. Ya, pertemuan rerakhir yang saya tangisi karena kerinduan saya padanya. Ada rasa menyesal, mengapa saya tak menyempatkan berkunjung ke warung beliau seperti biasanya, atau turun dari mobil saat itu, sekedar bersapa dan ngobrol ringan bersamanya barang sebentar.

Senin pagi sekitar pukul 07.00 WITA, 3 Agustus 2020, mata saya tertuju pada sebuah pesan pribadi yang masuk dari Mbak Ninik, salah satu admin di TKIT Ruhamaa. Tak biasanya beliau berkirim pesan Whatsapp kepada saya.

[Turut berduka cita atas  wafat nya Mbah  Uti Isti, warung penjual nasi di depan Bengkel Rodho. Tadi siang wafatnya. Semoga Allah menerima semua amal ibadah beliau, diampuni dosa beliau, dilapangkan alam kubur beliau dan ditempatkan almarhumah sebagai ahli Surga, serta keluarga diberi ketabahan. ]

[Ibu nasi yang jualan di depan Ruhamaa meninggal tadi siang, Bun]

Sontak aku saya terkejut, jantung serasa lepas, saya tercekat dan gugup. Innalillaahi Wa Inna Illaayhi Raaji'uun. Setengah berteriak saya berucap. Tangis saya pecah, lirih menyebut nama Bu Isti. Bibir terus mengicap asma Allah. Segera saya menelpon Pak Samijo. Begitu tersambung, saya menanyakan kebenaran berita tersebut dan beliau membenarkan. "Nggeh, Bunda. Beliau sedo hari Ahad kemarin ba'da zuhur. Sepurone dereng ngabarin Bunda. Belum sempet, belum kepikiran." (Ya, Bunda. Beliau meninggal hari Minggu kemarin setelah Zuhur. Mohon maaf belum memberi kabr ke bunda. Belum sempat, belum terpikirkan).

Saya seketika menangis sesegukan, sembari mendengar cerita bapak tentang sakitnya ibu sepekan sebelum berpulang. Rupanya kondoosi belau sedang drop  karena kecapekan, sehubungan jualan warung dan juga mengurus nenek yang sedang sakit stroke. Bahkan beliau bersama keluarga mengurus proses pemulangan nenek ke Jawa agar bisa di rawat dan terapi disana. Bapak menyarankan Ibu untuk istirahat terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun