Memasuki kepala dua berarti membuka lembaran kisah baru. Ada masa yang kemarin baru saja terlewati. Pencarian jati diri baru saja dimulai. Ada yang sudah menemukan siapa dirinya dan harus kemana melangkah di jenjang yang baru. Namun, tak sedikit pula yang bahkan baru menyadari bahwa dirinya belum mengenal siapa dirinya sebenarnya. Apa yang dianggapnya sudah menemui titik terang justru baru saja memulai likunya. Terjalnya kehidupan baru saja akan dimulai. Pintu gerbang baru akan terbuka lengkap dengan dua sisinya.Â
Satu sisi memberinya semangat hidup yang baru, tetapi di sisi lain ada yang menghambat dan menghalangi tiap langkah. Apa yang ditabur itulah yang akan dituai. Karenanya semailah selalu benih kebaikan agar suatu saat nanti ada kebaikan yang dapat dipetik juga. Tak perlu risau ataupun gelisah jika tanaman kebaikanmu belum membuahkan hasil. Tetaplah siram dan berikan pupuk terbaik untuk tanaman yang kamu simpan.
Resah menyelimuti perasaanku saat ini. Bagaimana tidak? Aku yang mengira sudah mengenal diriku seutuhnya ternyata tak benar begitu. Bahkan terkadang aku merasa asing dengan diriku sendiri. Masih dalam batasan yang sangat sempit. Ternyata aku masih terperangkap dalam ego yang besar. Tak mampu memahami siapa dan ke mana hendak kulangkahkan kaki ini saat satu rencana yang kususun berantakan.Â
Tak ada persiapan. Aku mengira semuanya berjalan dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti. Salah besar. Sekarang terasa buntu. Sampailah aku pada persimpangan jalan. Entah harus ke mana, semuanya tak menampakkan tujuan yang mereka tawarkan. Masing-masing mengarah pada satu tempat. Jika keputusanku salah sudah pasti aku akan sampai di suatu tempat yang baru. Mungkin bukan seperti apa yang tergambar dalam benakku. Dan bukan hal yang mustahil jika di tengahnya akan banyak aral yang melintang. Kuputuskan untuk diam sesaat.
Waktu terus berjalan. Padahal kemarin aku baru saja melewati kehidupan yang luar biasa. Penuh canda tawa, kebahagiaan, kebersamaan, kadang tangis dan luka menjadi bumbu kehidupan yang indah. Aku terlena karena tak mampu mempersiapkan diri untuk berbagai kondisi. Terlempar dalam kesenangan sesaat yang justru sekarang menjadi kisah semata. Pendirianku masih memberiku kekuatan untuk tetap berpijak menatap impianku. Setidaknya tak terpuruk dalam keputusasaan.
"Siapa namamu?" tanya seseorang padaku.
"Hai, kenalkan namaku Nadira Syadifa," jawabku singkat. Ia orang asing yang menyanyaiku. Mungkin ia ingin berkenalan, pikirku. Kebetulan kami sedang menunggu panggilan interview. Ia sendirian jadi mungkin ia butuh teman bercerita untuk mengurangi sedikit perasaan grogi karena menunggu panggilan.
"Lalu siapa dirimu?" lanjutnya .
"Aku ... " ucapku terhenti. Bingung harus kujawab apa pertanyaan orang itu. Kenapa aku kehilangan jawaban? Padahal harusnya dengan mudah kujelaskan siapa diriku. Tapi apa memangnya yang bisa kukenalkan. Aku menjadi berpikir.
'Aku siapa?' tanyaku dalam hati.
Sejak saat itu aku menjadi sering memikirkan siapa diriku dan apa tujuanku hidup. Mencari tahu kenapa aku ada dan untuk apa aku ada. Pertanyaan baru yang muncul di penghujung usiaku di kepala satu. Sudah lebih dari sembilan belas tahun hidup ternyata aku terbuai. Tak tahu arah. Betapa cerobohnya aku. Mengapa tak kusadari dari dulu semua itu. Biar kurumuskan langkah yang perlu kutempuh. Seberapa jauh jarak yang harus kulewati untuk mencapai citaku. Dan sekarang aku baru akan merancangnya. Memutuskan ke mana kaki ini harus mengayun mencari jawab atas tanya yang mulai menghantui.