Walau penelitian tesis saya tentang renegosiasi Kontrak Karya (KK) antara PT Freeport dengan pemerintah Indonesia tahun 2009 lalu pada program pendidikan Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada (UGM), namun saya belum melihat langsung bagaimana situasi di tambang tersebut secara nyata untuk mengetahui kebenaran dari dampak limbah tambang Freeport khususnya.
Perusahaan tambang emas Amerika Serikat yaitu Freeport McMoRan yang telah mengeksplorasi tambang emas di Timika Papua sejak tahun 1967, telah mengubah peta lingkungan di Timika dengan menghasilkan limbah berupa pasir sisa tambang (tailing) dalam jumlah besar hingga sekarang telah menggenangi sungai Ajkwa yang berada di sekitar tambang merusak nutfah yang berada di sungai dan sekitarnya.Â
Akibatnya hak masyarakat setempat untuk mencari sumber kehidupan yang berasal dari sungai seperti ikan menjadi terganggu, selain ikan mengandung zat-zat limbah juga banyak yang mati, tanaman obat-obatan yang mungkin mereka butuhkan sudah tidak tumbuh lagi.Â
Akhirnya penduduk setempat mengalihkan sumber mata pencaharian dengan mencari emas dari sisa-sisa tambang yang mengalir bersama tailing.
Sejatinya yang demikian menjadi tanggung jawab PT Freeport sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat setempat agar kehidupan mereka terjamin baik mengingat lokasi tambang di wilayah penduduk.Â
Di samping itu, pengelolaan limbah tambang sejatinya menjadi tanggung jawab terbesar Freeport untuk tidak merusak ekosistem apalagi limbah yang mengalir melalui sungai terus mengarah ke laut, sangat merusak alam.
Saat pesawat yang ditumpangi dari Papua transit ke Timika, saya dapat melihat langsung dampak lingkungan akibat tambang Freeport, begitu panjang dan luasnya luapan dari tailing yang mengalir berpuluh tahun.Â
Dalam hati berkata ternyata belum ada perubahan sejak saham PT Freeport dibeli oleh pemerintah Indonesia sebagai pemilik tambang sebanyak 51,2%. Kita ketahui bersama memang sedang dibangun smelter untuk peleburan bahan baku hasil tambang Freeport di Gresik Jawa Timur, namun belum ada tanda-tanda serius pengendalian limbah di Timika.
Akhirnya bukan lagi sebuah sungai yang alami yang terlihat tetapi sudah menjadi parit besar pembuangan limbah. Hingga keluar badan sungai menggenagi pepohonan, tentu ini mengganggu dan merusak biodiversity di sekitar sungai yang dilalui.
Sulit untuk mengembalikan lingkungan yang sudah terlanjur rusak akibat limbah tambang dan menjadi sesuatu yang sangat ironi. Di satu sisi ingin mendapatkan sumber ekonomi besar tapi di sisi lain merusak kealamiahan biodiversity yang tidak bisa dinilai oleh uang, karena kenaturalannya itu sebagai semesta yang harus dijaga dengan baik untuk menghasilkan sumber oksigen yang sehat bagi kehidupan makhluk hidup.
Sejak muncul kesadaran untuk menganalisis perjanjian tambang emas di Timika antara Freeport dengan pemerintah Indonesia hingga saat ini sudah 11 tahun masih tentang perjanjian KK yang dapat diselesaikan, semoga pengelolaan limbah tambang bisa segera teratasi sebagai amanah yang harus dikembalikan sebagaimana mestinya.