Baru saja saya selesai menjawab salam seorang gadis kecil di TPA tempat saya menjadi relawan, kerumunan anak-anak lelaki berteriak dari jauh dan datang menyelanya, "kakaaak... kakaak! Ini mereka bertengkar!"
Terlihat mereka mendorong dua orang bocah yang menunduk sembari sesekali sesenggukan untuk menahan tangis.
"Bertengkar kenapa ini?" tanya saya pelan, sambil mengelus punggung salah satu dari mereka yang tampak lebih emosi dan mencoba memukul anak di sebelahnya, yang sementara didorong ke belakang oleh yang lain.
"Tadi A dikatain kurus kak, dan dia nggak terima. Jadinya si R dipukul. Eh habis itu mereka malah saling pukul. Aku juga tadi kena pukul lho kak, padahal mau melerai mereka," adu seorang anak yang menjadi saksi mata.
"Oohh.. " saya mengangguk paham. Persoalannya sebenarnya sepele, tapi karena yang diejek keburu emosi, jadinya malah berbuntut panjang. "Terus sekarang mau dilanjutkan bertengkarnya? Enggak kan?! Habis nanti energi kalian."
"Betul... betuuul!" anak-anak lain menimpali secara bersamaan, bahkan salah satu dari mereka ikut menasihati, "bertengkar kan banyak negatifnya ya kak?! Sudah berdosa, sakit badan lagi!"
"Tuuh dengar 'kan kata temannya?! Udahan yok bertengkarnya, sekarang saling memaafkan ya? Baik yang mengejek dan memukul, semuanya salah. Untuk ke depannya, kalau kita sakit hati karena diejek, jangan sampai kita mengejek lebih dahulu. Begitu pula kalau kita tidak mau sakit karena dipukul, ya jangan memukul temannya."
Usai berpanjang lebar menyampaikan nasihat, anak-anak di sekeliling mereka kompak mendorong mereka untuk saling tatap dan mengayunkan tangan bersalaman minta maaf. "Sok atuuh.. "
Sayangnya, gerakan itu tidak mempan sama sekali. Keduanya masih beku, tidak beranjak dari posisi mereka semula. Bahkan ketika saya menyuruh mereka untuk masuk kelas dan duduk, tetap saja mereka tak bergeming. Saran saya untuk mengambil wudhu pun diacuhkan.Â
Rangkaian saran kawan sebaya mereka juga bernasib sama: ditolak mentah-mentah. Saya pun kembali dibuat mereka memutar otak. "Boleh kok lanjut bertengkarnya, tapi yang lain nggak boleh pulang ya sebelum kalian berdua saling memaafkan."
Mendengar ultimatum saya, bocah-bocah di sekeliling mereka makin bersemangat untuk memberi petuah. Nada suara mereka tenang sekali. Bahkan sesekali diselipi canda. Saya semakin kagum ketika tidak ada satu pun dari mereka yang marah atau gemas karena pulang terlambat yang diakibatkan oleh teman mereka sendiri. Justru semangat mendamaikan keduanya sangat menggelora.