Bagi orang yang memilih pulang kampung ketika lebaran, perjalanan pergi dan pulang bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga pikiran. Awalnya, memutar otak untuk bagaimana agar tidak kehabisan tiket. Seketika persoalan tersebut selesai, eh dibuat kaget karena ternyata harga tiket melonjak tak terkira. Belum selesai dibuat pusing, sanak saudara di kampuang merengek minta dibawakan A, B, dan C.. alamak!Â
Belum lagi, pada saat hari keberangkatan, kita mau tidak mau harus menghadapi antrian panjang dan kerap kali berdesakan untuk segera mencapai tujuan. Pun saat sudah duduk dengan nyaman, terutama bagi yang menggunakan moda transportasi umum, jam-jam pertama mungkin bisa digunakan untuk tidur dan mengobrol dengan penumpang sebelah atau cukup melihat pemandangan sambil mendengarkan musik.Â
Namun lama dan lelahnya kita di perjalanan, akan mendadak sirna saat kita bisa berkumpul bersama keluarga untuk merayakan idulfitri nan agung. Dan bila kita merasakan hal itu sekarang, saya ucapkan selamat.Â
Tidak semua umat islam di Indonesia merasakan hal yang sama. Beberapa teman saya, di hari raya esok ternyata harus bertugas.
Ada yang harus piket di rumah sakit, yang lainnya harus bergantian menjaga keamanan kantor. Pihak lain yang harus bekerja di saat lebaran adalah petugas kebersihan.
Di malam sebelum idulfitri, pawai takbir yang kerap diwarnai dengan petasan dan berbagai jenis kembang api memang terlihat semarak.
Namun ketika para peserta kembali ke rumah masing-masing, keramaian tadi ternyata sering menyisakan sampah. Bungkus-bungkus makanan, botol plastik bekas minum, hingga kertas sisa ledakan petasan bertebaran di penjuru kota.Â
"PR" inilah yang harus segera dibereskan oleh petugas kebersihan sebelum salat ied dimulai. Belum cukup dengan setumpuk sampah itu, ba'da salat idulfitri situasi yang hampir sama terulang.
Kini, yang mereka harus rapikan adalah tanah lapang atau teras masjid-masjid yang dipenuhi koran atau alas salat yang ditinggal begitu saja oleh jamaah.Â
Saat para muslim lain pulang dengan gembira untuk kemudian menyambut opor ayam dan rendang yang akan disantap bersama keluarga. Bapak-ibu pahlawan kebersihan justru sebaliknya, mereka harus berjibaku membersihkan apa yang kita sisakan, baru selanjutnya bisa pulang.
Kita bisa berdalih, lah itu kan pekerjaan mereka.Â
Betul, tapi bukankah tidak ada salahnya untuk meringankan pekerjaan mereka? Di tengah hiruk pikuk idulfitri yang hanya bisa dinikmati setahun sekali, tidakkah kita senang jika mereka juga bisa merasakan hal yang sama?Â
Toh, melipat koran dan alas salah yang kita pakai tidaklah berat. Apalagi kalau hanya kemudian membuangnya ke tempat sampah. Terlebih gaji mereka tidaklah setinggi pekerja-pekerja kantoran, bahkan dibandingkan dengan cleaning service di perusahaan yang acap kali mendaptkan tips sekalipun.
Oleh karena itu, mari bersimpati dengan para penjaga lingkungan ini. Bila kita belum bisa menyisakan sedikit rejeki untuk mereka, paling tidak kita tidak menambah beban pekerjaan dengan membuang sampah sembarangan.Â
Bukankah sebulan ini kita diajarkan oleh Ramadan untuk lebih toleran terhadap yang lain, termasuk mereka yang membantu kita menjaga kebersihan di lingkungan sekitar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H