Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Menjahit Luka

24 Februari 2019   14:41 Diperbarui: 24 Februari 2019   15:19 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Galeri Lentera Artwork

"Kamu sih, mudah percaya dengan puisi." Astaga!  Tidak! Kamu bisa bayangkan saja, bagaimana kemarahan saya waktu itu? Tempo hari, saya percaya bahwa, puisi dapat membuat hati seseorang yang beku bisa luluh. Tetapi tidak dengan sore itu. Saya tidaklagi percaya pada segala hal diucapkan penyair dalam puisinya.

Secepat itu, Laki-laki brengsek itu, pergi begitu saja. Saya masih mematung di bangku taman. Pikiran kacau. Perlahan-lahan saya bangkit dari bangku taman. Mendadak  tidaklagi diri utuh. Bagai daun ketapang gugur. Saya merasakan sesuatu yang runcing dan perak jatuh dari mata. Saya menangis. Ini bukanlah pertamakali menangis. Sudah cukup! Tidak rela air mata jatuh lagi.

Sebelum hari benar-benar gelap. Saya mampir ke sebuah toko buku. Di dalam toko, begitu sepi. Hanya saya dan sang pemilik toko, yang ada di sana. Dan sialnya, kami berdua hampir terlibat keributan hebat. Merah padam airmuka lelaki itu. Pasalnya, segala judul buku puisi ditawarkan. Tak satupun memikat hati. Penjaga toko dibuat marah besar.

"Dasar sinting! Kalau kamu tidak beli buku. Segara pergi dari sini!" bahkan ia himpun kata-kata liar dari "kebun binatang" lalu menyerang saya. Kutatap penjaga toko dalam-dalam. Saya keluarkan beberapa rupiah.

"Saya ingin membeli tanggung jawab---kebenaran puisi seorang penyair." Sudah bertahun-tahun ia berdagang buku puisi, namun kali ini, baru ada orang yang berani membeli sesuatu yang dirahasiakan---yang telah dipisahkan dari buku puisi---berupa kebijaksanaan seorang penyair.

Sore ini---tepat, sepuluh tahun berlalu. Janin yang dahulu saya nawaitu membunuhnya. Kini sedang duduk di samping saya, menyeruput kopi. Dibacanya sebuah koran kota.

"Ibu, siapa itu Jeadeni?" Saya sontak dibuat kaget. Kutenggok halaman depan koran itu, terpampang jelas wajah Laki-laki brengsek itu. "Jeadani, Duduk Manis di Senayan, Karena Puisi". Kebohongan macam apa yang akan kamu terima nanti, Nak? Saya membatin.

"Di dada yang dingin ia simpan berlusin-lusin rahasia/sekali waktu pernah ia jahit dengan seribu jarum jam/waktu berhenti dan tidak diketahui siapa-siapa/kecuali seribu luka yang menganga".

 

Ambon Manise, 14 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun