Perempuan siapa yang tidak bahagia? Tatkala dikirimkannya puisi. Laki-laki brengsek itu, berhasil melakukannya. Saya selalu membanggakan dirinya, bahkan dihadapan sahabat-sahabat. Di antara mereka, sedikit yang setuju dan banyak yang tidak setuju. Dengan dalih rupa-rupa,
"Tidak cemburukah kamu? Seorang penyair terkadang menyimpan perempuan lain dalam puisinya," saya hanya membalas kecemasan mereka dengan senyum.
"Bagaimana kalau kamu hanya dimanfaatkan, sebagai objek dari puisi-puisinya?" Awalnya, saya tidak ambil peduli. Namun, di suatu pagi, saya bangun tidur dan menemukan sehimpun puisi dimuat koran kota, telah mencatut nama saya, "...kusaji tubuh Ellen; anggur buah dada, bibir merah delima, mawar-mawar pubis/seorang lelaki berselera menyantapnya...,"Â saya menghentikan bacaan. Kepala saya membesar, serasa, telah ditelanjangi di hadapan orang banyak. Bahkan, oleh kekasih sendiri.
"Peduli setan. Di kota ini ada ratusan nama Ellen," dia membela diri.
"Untuk siapa puisi itu?" dia tidak jawaban. Atau nama perempuan lain. Kami sempat terlibat keributan hebat, karena sebuah puisi, "Tidak peduli jarak ataupun kegaduhan musim mengelupaskan badan/padamu aku berpulang."Â Siapa perempuan itu? Tidak ada jawaban. Hanya keributan.
"Apakah benar, cinta hanya omong kosong bagi seorang penyair, agar puisi-puisi tetap lahir?" saya membatin.
Begitulah hati perempuan. Meski dipatahkan, tetapi mudah pula mempercayai. Dan, seorang laki-laki punya seribu satu cara meyakinkan hati perempuan. Saya pikir ini kebiasaan buruk. Laki-laki brengsek itu, gemar memungut kata-kata para penyair kawakan, jadi miliknya. Ataukah, memang sudah jamaknya di dunia kepenyairan? Suatu malam, tatkala berahinya memuncak. Jangan takut! Katanya. Tetapi saya bersikukuh menolak. Dipungut sebuah puisi,
"Cinta yang bertanggung jawab adalah menikah."Â Dan akhirnya, dia melepaskan selembar demi selembar pakaian saya. Padam lampu kamar. Saat membuka mata. Sebuah puisi tengger di koran, "Di ranjang kita bercinta dan puisi menyala bagai remang lampu kamar..."
* * *
Sore itu, di taman kota. Tanpa basa-basi,
"Saya ingin menagih janji. Saya ingin meminta pertanggung jawabmu. Nikahi saya! Saya tengah mengandung anakmu." Dia memang brengsek! Dalam kondisi seperti itu, tidak merasa panik. Bahkan dengan nada datar, katanya,