Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak untuk Ibu

8 Januari 2017   12:51 Diperbarui: 8 Januari 2017   12:54 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jajaran delapan-285x177-telusuri gambar

Ibu, engkau mengajariku rasa, tak sekadar bahasa perkakas maksud. Engkau miliki segala perasa: hati, bahkan lidah yang kaupergunakannya  mencecap masakan.

Kadang, kata-kataku adalah gugusan tak bermakna. Sebab cinta, tak meski tanggung jawab atas kata, bebas huruf dan kalimat. Ia terbebas dari bahasa dan bicara. Cinta terampung dalam tindakmu, Ibu.  Barangkali engkau adalah jelmaan cinta. Atauhkah, engkau adalah cinta?

Ibu, kuingat benar hari itu. Di sembir pantai yang dicumbu gelombang, engkau datang tergopoh-gopoh, airmatamu jatuh luruh satu demi satu, tangismu keras bertambah deras, buyar airmatamu. Bahkan, hempasan ombak, angin yang menggila tak kuasa membujuk tangismu.

“Hidup adalah getir menyayat, perihal meninggal dan ditinggalkan”, pikirku. Wajahmu begitu lusuh, tatapmu nanar pada perahu reyot yang hendak membawaku pergi bersama angin, mengejar harap di rantau orang.

Sedari tadi, kau makin karib dengan tangis. Dengan lembut kudekap, engkaupun mendekap lebih dekat, lebih mesra. Kini, peci Ayah, kupakai menampung tangismu dan tangisku. Entah berapa banyak, aku tak kuasa menghitungnya?

Setelah kita saling membasahi pungung, tangismu reda. Lamat-lamat, kau menjatuhkan doa menyerupai samudra, hingga aku berenang di dalamnya.  “Tuhan Yang Mahapelindung, dia satu-satunya kepunyaanku!” pintamu.

Aku terlelap dalam pelukanmu, tatkala di atas layar perahu reyot, awan berarak tebal, ia bertenaga menghimpun gelap. Gelombang tak tanggung-tanggung menghempas semakin keras, bahkan karang kecil tercerabut. Sekoyong-konyong nahkoda, perahu reyot itu, jelas mempertegas arah pelayaran yang jauh. “Barangkali di langit hendak dituju?” pikirku.

Engkau masih berdiri meratapi perahu reyot yang hendak membawaku pergi. Seketika sauh ditarik, baru kusadari, perpisahan adalah luka. Diriku semkin tak berdaya, apalagi dirimu, Ibu?  Laksana belati mengiris jantung, denyut mempertegas muasal.

Kumiliki gagasan, “kepergian selalu meninggal derita,” nyatanya, diriku pergi merengkuh masa depan, lalu derita yang kutinggalkan untukmu.

Ibu, kau tahu! Semakin jauh perahu reyot itu membawaku pergi, semakin besar harap untuk kembali, tumbuh dalam hangat pelukanmu, basah dalam doa, ataupun aroma masakan yang menggoda.

Dan, terakhir di atas perahu reyot itu, kulukis sesuatu pada awan yang bergelantung di ujung layar perahu, ”Ibu kau adalah totalitas defenisi tentang cinta”.

Bersabarlah, Ibu. Kelak aku kembali, lalu kita menuntaskan kerinduan.

Makassar, Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun