Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bahasaku adalah Identitasku

30 Agustus 2016   21:40 Diperbarui: 30 Agustus 2016   22:17 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lidahku adalah bahasaku. Bahasku adalah identitasku. Identitasku adalah rumahku. ”Kira-kira begitulah refleksi Gloria Evangeline Anzadua, sebagaimana Alwy Rahman, mendaur ulang dalam esai yang dimuat halaman Literasi, Koran Tempo Makassar, 5 Mei 2013. “Lidahku Rumahku.” Gloria, sebagaimana ditulis Alwy Rahman. Broderlands: tapal batas. Tapal batas dimaksudkan Gloria adalah ruang yang tercipta dari susunan-susunan makna sebagai akibat dari kepenguasaan atas berbagai identitas. Identitas bahasa, identitas etnik, dan identitas budaya. Secara singkat. “Tapal Batas” Gloria: Bahasa adalah identitas seseorang. Identitas begitu penting bagi seseorang, sebab dengan identitas seseorang dengan mudah dikenali. Ia berbeda dengan yang lain. Sama halnya identitas yang lain: identitas etnik dan identitas budaya.

Menyoal identitas budaya. Identitas budaya merupakan suatu karakter khusus yang melekat dalam suatu kebudayaan sehingga bisa dibedakan antara suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Identitas budaya suatu tempat berbeda dengan identitas budaya di tempat lain. Dilansir Wikipedia.org. Di Tanah Air kita, jumlah budaya: suku bangsa dan bahasa sangat banyak. Jumlah suku bangsa, 1.440 dan jumlah bahasa, 546. Jumlah sebanyak ini merupakan perpaduan dari suku bangsa seluruh Nusantara. Sedangkan di Maluku, berjumlah 140 bahasa.

Bahasa begitu penting dalam kehidupan kita. Sebab, bahasa merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk dipergunakan untuk menyampaikan maksud tertentu kepada manusia lainnya. Manusia mengakui sisi bahasa lewat interaksi sosial mulai pada masa belita. Bahasa pada masa belita juga disebut sebagai mother togue: Bahasaibu. Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama yang dipelajari oleh seseorang. Biasanya seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama  mereka dari lingkungan keluarga.

Lingkungan keluarga. Di Seram Timur, Kabupatan Seram Bagian Timur, pada umumnya masyarakat menggunakan minak Seran. Minak Seran telah menjadi bahasa resmi masyarakat Seram Timur dalam berinteraksi. Selain minak Seran, salah satu dari bahasa yang dipakai masyarakat Seram Timur, yang berdomisili di pesisir garis pantai pulau Seram: Tanah Basar adalah  minak Essu: Bahasa Hutan. Minak Essu menjadi bahasa khusus masyarakat Kecamatan Kian Darat. Kesamaan minak Seran dan minak Essu pada sisi maknanya, hanya saja pelafalan yang sedikit kedengaran berbeda. Misalnya, minak Seran: suat: sagu dan minak Essu: suata: sagu. Kedua menunjukkan pada makna yang sama, tapi berbeda dalam pelafalan.

Begitu penting menyoal minak Seran. Sebab, minak Seran adalah identitas kita. Gelombang modernitas telah memporak-porandakan identitas seseorang menjadi krisis terhadap identitas kediriannya sendiri. Orang bertindak bukan lagi atas kehendaknya tetapi kehendak orang lain, menghilangkan kediriannya dan berkamuflase menjadi kedirian orang lain atau kebanyakan orang.  Nasib minak Seran megalami hal yang sama, minak Seran pun lenyap bersama identitas diri yang ditiadakan. “Identitas diri seorang berpeluang dilenyapkan secara sepihak melalui bahasa”. Kira-kira begitulah dibilangkan Gloria, seorang penyair, novelis, esais, dari California.

Kelaziman yang terlihat nyata dalam ruang interaksi kaum terdidik. “Sinai dasikola oca le, dingat minak Seran tei loka: mereka kaum terdidik, melupakan bahasa Ibu”. Menurut hemat saya, ada pesan lain  yang terkandung dibalik ungkapan tersebut. Pertama, minak Seran nampak redup dalam ruang interaksi kita yang berpendidikan tinggi atau telah hijrah dari kampung halaman kita, Seram Timur. Kedua, kita kaum terdidik adalah salah satu faktor yang melumat habis eksistensi budaya. Kita adalah bagian dari kekhawatiran para tetuah adat sebagai pemusnahan terhadap kekayaan budaya: bahasa dan ritus kebudayaan lainnya.

Pertama. Sebagian besar dari kita kaum terdidik beranggapan bahwa, minak Seran diberlakukan ketika kita telah kembali ke kampung. Hal ini, terlihat dalam ruang interaksi kaum terdidik selama di kota studi, surut akan bahasa ibu: minak Seran. Kelaziman ini, menjadi kekhawatiran tersendiri. Saya tidak membayakan beberapa tahun mendatang, minak Seran hanya  bisa kita jumpai di museum dan legenda negeri kita. Sebab, kita lebih bangga dan nyaman menggunakan bahasa orang lain dalam ruang interaksi kita. Semisal bahasa Sunda, bagi mereka studi di Bandung, lo gue, studi di Jakarta, dan Bahasa Bugis-Makassar, mereka yang studi di kota Makassar. Tanpa sadar kita telah meleyapkan minak Seran dan menggntikan dengan bahasa orang lain.

Kondisi ini dibahasakan Alwy Rahman, “Bahasa, dalam filsafat Gloria adalah kulit  kembara dari identitas diri. ”Ketika kita menggunakan bahasa orang lain, tanpa sadar kita telah mencuri identitas orang lain atau sebaliknya”. Pendek kata, kita orang-orang terdidik berpotensi sebagai pencurih bahasa orang lain dan pembunuh bahasa sendiri, kemudian sebagai pembunuh identitas sendiri. Maka yang nyata dari keseharian kita orang-orang terdidik adalah kumpulan terbuang dari identitas sendiri: krisis identitas. Terutama identitas budaya kita.

Kedua. Dengan frame pengetahuan dan pengalaman dimilki, kelak kembali ke kampung dan terlihat apa yang  berbeda di sana, maka kita malah meniadakan. Hal inilah, para tetuah adat di kampung selalu tersimpan di kepala mereka bahwa kita kaum terdidik adalah salah satu faktor kepunahan terhadap adat istiadat. Makanya, kadang kala terjadi gesekkan di rana sosial antara kaum terdidik dengan para tetuah adat. Ini, akibat dari ketidak matangan pengetahuan kita dan lenyapnya identitas budaya dalam diri kita.

Syahdan. Kepunahan minak Seran dalam ruang interaksi kaum terdidik, kita mungkin kehilangan eksistensi dan jati budaya kita. Dan akhirnya, dengan kepunahan minak seran, orang leluasa menerkam dan melumat habis eksistensi jati diri kita dan kemudian budaya kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun