Nun jauh pada masa lampau, sekitar tahun 8000 SM di Mesopotamia. Para petani desak-desakan di sawah, menyangkul tanah, memilih benih, menyemai hingga menumbuh tumbuh tanaman. Syarat tumbuh sebuah tumbuhan, selalu ditopang dengan medium yang baik: Top soil yang gembur, benih unggul yang terverifikasi, drainase, irigasi yang siklusnya lancar, serta iklim yang lembab. Kira-kira begitulah, saya menarasikan proses menumbuh tumbuh sebuah tanaman oleh sang petani. Ihwal ini, mirip dengan peran media dalam menumbuh subur (publisitas) pemberitaanlesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) belakangan tengah menjadi trending topic.
Menelisik lebih jauh gerakan LGBT, tak luput dari peran media dalam mempublikasikan pemberitaan LGBT. Tercatat pertama kalinya media mempublikasikan ihwal LGBT pada publisitas revolusi seksual pada tahun 1960, ini yang mendorong lahirnya gerakan LGBT semakin meluas. Hampir seluruh Eropa secara tegas menuntut kesamaan hak dengan warga negara yang lain tanpa membedakan orientasi seksualnya.
Di Amsterdam, pada tanggal 4 Mei 1970 aksi besar-besaran kelompok gay memperingati hari meninggalnya korban akibat kekerasan yang dialami kaum homoseksual, aksi ini mendapat dukungan baik individual maupun kelompok, tercatat 7152 group lesbian dan gay mendukung aksi ini. Aksi ini menarik perhatian dunia, khususnya kelompok LGBT.
Publisitas memiliki potensi merekonstruksi dan mengendalikan segala tenaga yang mempengaruhi tindakan khalayak. Kira-kira begitulah pendakuan Karl Bucher, ahli ekonomi yang tertarik meneliti ihwal komunikasi. Publisitas mampu merekonstruksiframe of experience danframe of reference kelompok LGBT. Media dalam mempublikasikan pemberitaan LGBT, ditampik sebagai kelompok yang tertindas dalam tatanan masyarakat. Dan pada tahap selanjutnya, media juga tampil sebagai pihak yang netral dalam memicu gerakan LGBT untuk menuntut kemerdekaan identitasnya.
Pengakuan eksistensi identitas LGBT, media mengemas dalam sebuah gerakan sosial dengan dalil kesamaan hak tanpa membedakan orientasi seksual. Dan publisitas media juga turut memperkuat gerakan sosial ini. Jalaluddin Rakhamt (Kang Jalal), mendaku dalam Rekaya Sosial-nya. Kang Jalal menegaskan bahwa Sebab-musabab gerakan sosial.
Pertama, ideas: perubahan pandangan hidup, pandangan dunia,dan nilai-nilai. Media memiliki potensi besar membentuk dan merubah ideas ini, sebagaimana fungsinya: to education, to persuade, danto inform. Pada posisi ini, publisitas media dengan dalil bahwa kelompok LGBT adalah kelompok yang tertindas. Media berperan dalam pembentukan kesadaran ini, sehingga gerakan LGBT semakin mendapat respon yang baik. Kedua,great individuals. Perubahan sosial terjadi karena muncul seorang tokoh yang menarik simpati pengikutnya.
Anderson Cooper, seorang jurnalis dan presenter keamanan Cable News Network ( CNN), sebagaimana dilansir VIVAnews, 3 Juli 2012. Cooper secara tegas menyatakan dirinya seorang gay. Luxemburg Xavier Battel, Perdana Mentri, menikahi pasangan gay-nya Gauthier Destenay pada Mei 2015, atau orang yang berpengaruh turut mendukung gerakan ini, sebut saja.
Barack Obama, melalui akun Twitter-nya, ” Hari ini kita mengambil langkah besar di dalam perjuangan mencapai kesetaraan. Pasangan gay dan lesbian sekarang memiliki hak untuk menikah seperti siapa pun.” Dan juga Hillary Cliton, mendaku hal yang sama dalam akun Facebook-nya.” Saya bangga dapat ikut merayakan kemenagan bersejarah demi mencapai kesetaraan pernikahan.”
Peranan tokoh-tokoh besar ini, memberikan kesan tersendiri semakin mengental gerakan LGBT. Ketiga, social movement. Perubahan sosial bisa terjadi karena muncul gerakan sosial. Media lewat publisitas berita LGBT, sebagai pemicu gerakan ini. Sebagaimana pada tahap awal tahun 90-an dalam mempublikasikan revolusi seksual dan menuai pada gerakan LGBT di Amterdam, Amerika, dan bisa saja di Indonesia.
Media di Indonesia, dalam mempublikasikan pemberitaan LGBT dari 15 Juli-20 Agustus 2015, hasil pemetaan pemberitaan terhadap 20 media cetak dan online yang terbit secara nasional serta lokal, muncul 113 pemberitaan. Media online paling banyak menurunkan berita mencapai 107 kali (86,99 persen). Sedangkan media cetak hanya menurunkan 16 berita (13,01 persen). Dengan peningkatan publisitas pemberitaan LGBT,menjadi kekhawatiran tersendiri. Menurut hemat saya, media harus men- diet-kan pemberitaan LGBT, agar wabah LGBT tidak sampai menjalar dalam pola pikir generasi muda kita.*BoufakarIshak*Pegiat Literasi-Paradigma Institute
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H