Penanda ini mestinya tidak hanya diterima oleh pengguna jalan secara visual, tetapi dapat juga berbentuk fisik, suara, maupun bau. Tanda fisik misalnya pengejut, belokan, sementara dalam hal suara mungkin dengan menempatkan bangunan tertentu, seperti pagar tembok yang tinggi di tempat-tempat, dapat memantulkan suara yang akan membuat pengemudi tetap terjaga. Tentang bau, saya selalu tahu sudah berada di Ungaran jika mencium bau biskuit matang, dari salah satu pabrik.
Mengurangi kecelakaan
Penanda itu juga merupakan selingan visual yang dapat menjadi selingan di antara monotonnya jalan yang dapat mengundang kejemuan bagi para pengguna, terutama pengemudi. Jalan lurus, lebar, dan rata akan cenderung membuat pekerjaan tunggal bagi pengemudi: injak pedal gas, stir lurus, selama tidak terdapat pengguna jalan lain yang perlu direspon.
Tidak sekedar menjadi selingan yang menghibur, yang lebih penting lagi adalah keselamatan para pengguna jalan. Kebosanan yang berkurang diharapkan dapat mengurangi angka kecelakaan lalu lintas yang menjadi sorotan media massa pada hari-hari awal pengoperasian jalan bebas hambatan ini.
Pertimbangan ahlinya
Begitu bayangan saya tentang Cipali. Tentu, perlu pertimbangan para ahli yang kompeten tentang hal ini. Jangan-jangan menurut teori "tologi" alias ilmu jalan tol, adanya penanda lahan malah merusak konsentrasi pengemudi.
Perjalanan lancar dan para pengguna, kendaraan, serta barang angkutan selamat sampai ke tujuan. Semoga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI