Pemerintah sudah sadar bahwa bahwa penduduk yang tinggal di pemukiman informal telah berkontribusi banyak untuk ekonomi kota dengan apa yang disebut sebagai sektor informal, seperti penyediaan tenaga kerja (buruh) dan barang murah. Pada tahapan ini pemerintah lebih meningkatkan program pada tahapan III untuk merealisasikannya, tidak perlu melalui proses penggusuran.
5.Tahap V (Tahun 1990-sekarang) :
Pemerintah sudah menyadari bahwa perlu adanya institusi atau kelembagaan khusus yang memikirkan proses di tahap IV agar dapat terakomodasi, salah satunya yaitu pemerintah harus memberikan tindakan yang berorientasi dalam mendukung kegiatan/ usaha para penghuni permukiman informal. Pada tahapan ini pemerintah memastikan adanya sumber daya untuk membangun rumah tersedia dan terjangkau untuk semua kalangan (khususnya bagi para penghuni perumahan informal yang tergolong masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah).
Melihat permasalahan Kawasan Puncuran, pusat Kota Salatiga yang dianggap sebagai kawasan permukiman kumuh, seharusnya tahapan kontras yang menunjukkan sikap pemerintah terhadap penyediaan permukiman kota dapat mensiasati permasalahan permukiman kota, salah satunya dengan adanya pembangunan rumah susun (rusun) yang ditujukan bagi para penghuni permukiman informal tersebut. Solusi berupa rusun yang dilakukan oleh pemerintah ini juga diharapkan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh para penghuni permukiman informal yang berada di Kawasan Puncuran (khususnya yang bertempat tinggal dengan jenis bangunan rumah yang non-permanen, temporer serta yang memakan badan jalan untuk mendirikan bangunan rumah). Mereka menginginkan tempat tinggal yang memiliki ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap serta kemudahan jangkauan tempat untuk bekerja/berjualan. Untuk itu apabila pemerintah ingin program rusun ini dapat berjalan maka sasaran dari pembangunan rusun itu harus sudah jelas dan tepat. Metode yang digunakan untuk mengalihkan penduduk yang bermukim di permukiman kumuh dapat dilakukan dengan cara sosialisasi dan membuat daya tarik tertentu agar menarik perhatian mereka untuk pindah ke tempat tinggal yang lebih layak. Selain itu, dengan menggunakan cara penggusuran. Penggusuran ini dilakukan oleh aparat pemerintah apabila para penghuni permukiman informal bersikukuh tidak mau berpindah ke tempat baru (dalam hal ini tempat permukiman yang layak huni). Hal inilah yang membuat aparat pemerintah menggunakan ‘cara paksa’ untuk menertibkan permukiman informal. Selain itu terdapat metode lain dalam mengatasi masalah pemukiman kumuh, yaitu dengan menggunakan metode housing backlog (dihitung berdasarkan jumlah rumah yang kurang di Indonesia berdasarkan jumlah penduduk miskin). Mereka akan mendapatkan rumah dari pemerintah dengan cara ‘antrian rumah’ atau menunggu giliran untuk mendapatkan rumah. Namun metode ini tidak efektif apabila dilaksanakan di Indonesia. Karena sering kali hasil sensus jumlah penduduk miskin dengan kenyataanya di suatu kota tidak sama jumlahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H