Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kearifan Lokal di Lereng Gunung Halimun Salak

12 November 2024   00:22 Diperbarui: 12 November 2024   18:28 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen pribadi

Warga di area ini kebanyakan pendiam sehingga tak terbiasa menerima tamu. Mereka memang senang berkumpul di Madrasah, tapi tidak memiliki kebudayaan saling mengunjungi antar rumah seperti yang biasa terlihat di beberapa area Kota Bogor, misalnya Cimahpar dan Sukaraja.

Walaupun cukup ramah, tapi wajah-wajah warga tampak getir mungkin akibat kehidupan di area lereng Gunung Halimun Salak yang cukup keras.

Daya beli rendah sehingga sulitlah warga untuk menjual makanan jadi dengan harga yang layak. Harga gorengan atau donat atau bakpau cokelat hanya 1 ribu Rupiah, sedangkan harga bahan-bahan makanan cukup mahal akibat jauhnya transportasi ke pasar. Alangkah bagusnya jika ada pasar, fasilitas kesehatan, kurir, dan atm di area ini sehingga pertumbuhan ekonomi lebih meningkat.

Karena karakteristik warga yang pendiam, penjual makanan jadi harus berkeliling dari rumah ke rumah agar jualannya laku. Perempuan penjual kuliner berjalan kaki turun naik bukit. Sudah tak heran jika mobil atau motor penjual makanan melintas dengan kecepatan tinggi saking pesimisnya ada yang membeli. Bagaimana mau mencegat untuk membeli jika kendaraannya secepat cheetah? Hanya nyanyian makanannya yang terdengar...

"Gehu...gehu raos pisan...dikeletruk, garing..."

(Tahu...tahu enak sekali...digigit, kriuk...")

Aku pun beberapa kali hampir Almarhum. Tak terhitung beberapa kali sudah hampir tertabrak motor atau pun mobil ketika berjalan menyusuri lereng Gunung Halimun Salak. Jalannya memang tak ramah untuk pejalan kaki, terlampau sempit. Sementara pengendara kendaraan bermotor tak pernah sabar. 

Intinya, harus berjalan kaki sembari pandai meliuk seperti ular. Jika ada kendaraan besar yang melintas, cepatlah lari ke dalam halaman rumah warga yang hampir praktis jarang ada pagarnya.

Berhubung penasaran dengan jalan di atas bukit yang mengalami depresan, aku curiga apakah ada sungai yang mengalir di dalam bukit. Ternyata memang ada!

Jika musim hujan tiba, kadang-kadang air sungai yang mengalir di dalam bukit membuncah dan keluar dari sisi bukit. Sungai di dalam bukit menyebabkan tanah di atas bukit bagus untuk bercocoktanam. Jadi, tanahnya seperti sponge.

Kearifan lokal di area ini ialah diam-diam penuh perhatian. Janganlah khawatir akan mati tanpa diketahui orang! Walaupun pendiam, rasa penasaran dan perhatian warga cukuplah tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun