"Buburnya yang asin. Yang banyak bumbunya agar yang jual cepat laku," ujar Bu Dian menggoda Mang Alim, penjual bubur yang jomlo. Istrinya meninggal dunia bertahun-tahun yang lampau. Â Â
"Si Ibu bisa saja. Iya, aku juga heran. Kok nggak laku-laku. Aku ingin cepat laku seperti buburku," kata Mang Alim antusias sembari menambah porsi bubur, menaburkan banyak potongan ayam, menuangkan bumbu kari kuning, dan memberikan sekantung penuh kerupuk. Kenyang deh!
"Mang Alim mau beli tidak celana panjang denim ini? Bisa untuk anak perempuan Mamang. Ibu kebetulan nemu ini di dalam box. Masih baru. Ibu jual setengah harga saja. Mang Alim kan punya anak gadis," bujuk Bu Dian. Kedua matanya pun dibuat sesendu anak kocheng.
"Yah, Ibu. Anak perempuan saya pinggulnya selebar becak. Tak mungkin muat," jawab Mang Alim tak kalah sendu. Ia membentangkan celana panjang tersebut.
Bu Dian termenung. Ia pun menyentuh titik lemah Mang Alim tepat pada sasaran. DOR! "Bagaimana jika untuk calon istri?" (ini adalah contoh strategi keberlanjutan makan bubur ayam)
Mang Alim terpingkal. "Si Ibu mah begitu. Aku kan belum menikah lagi. Biarlah aku beli celana panjang ini untuk simbol agar aku cepat laku. Tapi, bayarnya pakai bubur ayam, ya?"
Bu Dian menyeringai senang. "Pasti Ibu doakan agar Mang Alim cepat menikah. Dapat istri yang cantik dan sholehah."
"Amin," ujar Mang Alim khidmat.
Entah mengapa penjual bubur di mana pun sangat ramah. Apa ini berkaitan dengan jenis kulinernya? Memasak bubur menuntut kesabaran.
Di lereng gunung, UMKM Mang Alim lebih stabil dibandingkan bisnis gorengan. Ia begitu sabar melayani konsumen. Personal brandingnya bagus karena ia sangat ramah pada konsumen.Â