"Adik kecil, kau baik-baik saja?" Tanya Ranko dengan nada lembut. Ia membantu bocah cilik tersebut berdiri dan membersihkan lututnya yang terluka dengan saputangan. Untuk sejenak, Ranko terpukau dengan senyum malaikat si bocah. Linangan air matanya seperti butiran kristal yang berguguran. "Jangan menangis, Adik Sayang! Kakak belikan es krim, ya? Kau mau?"
  Si bocah cilik mengangguk dengan antusias. Ia langsung menggenggam erat tangan kanan Ranko. Hati Ranko tersentuh. Ranko memang lemah dengan anak kecil yang manis karena ia anak tunggal.
  Aku sangat terkejut ketika Ranko menggendong seorang bocah cilik ke dalam kamar tidurku. Mulutku ternganga bagaikan kuda nil. Tama pun mendesis marah dengan bulu mengembang seperti landak.
   "Ran...Ranko...Tak salah kau bawa bocah ini ke sini? Mengapa kalian bersama?" Bisikku yang sedang rebahan di tempat tidur. Aku melirik bocah iblis yang duduk manis di atas sofaku. Sedangkan Ranko membungkuk di hadapannya untuk mengoleskan Betadine Luka di lutut kanannya.
  "Aku menemukan anak ini menangis di depan rumahmu. Ia terjatuh dan terluka. Jadi, kubawa ia ke sini," ujar Ranko dengan nada santai. "Mengapa sikap kau dan Tama sekaku kawat? Kalian tak iba pada bocah semanis malaikat ini?"
   Aku menepuk jidat. Duh, Ranko. Jika saja kau tahu, bocah cilik apa yang kau hantarkan ke hadapanku dan Tama. Bocah malaikat apa? Aku menatap nanar mata Ranko yang tak memedulikan isyarat alarm bahaya di mataku. Rupanya Ranko lupa kami akan melawan bocah iblis. Ranko ini indigo. Tapi dengan mudahnya ia tertipu penampilan malaikat sang bocah iblis.
   Ranko mencium kening si bocah iblis dengan penuh kasih sayang hingga Tama menggeleng-gelengkan kepala. Sementara itu, bocah iblis tersenyum puas. Sudut bibirnya agak naik seolah mengejekku yang tak bisa berkutik.
   Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H