Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 29 - Irma

25 September 2024   20:49 Diperbarui: 25 September 2024   21:19 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

"HUUUUUAAAA!" Teriak Ranko histeris.

Terdengar ketukan di pintu kamarnya. Ranko langsung membuka sedikit pintu kamar tidurnya.

       "Ranko, kau baik-baik saja?" Tanya Tuan Kamizawa, ayahnya Ranko. Wajahnya yang tersembul di pintu kamar celingukan untuk mencari sumber masalah dari jeritan putri semata wayangnya.

       "Aku baik-baik saja. Hanya kecoak yang merayap di dinding kamar."

     "Pakai semprotan anti kecoak. Jangan kau pukul atau injak. Nanti virus dan bakteri dari tubuhnya tersebar."

        "Iya, Chichi*. Aku mengerti."

       "Kau tak menyembunyikan seorang pemuda pun di kamar tidur kan?" Tanya Tuan Kamizawa. Wajahnya mengerut penuh curiga.

      Ranko merengut. Ia membentangkan pintu selebar mungkin. Tanpa mempedulikan putrinya yang bad mood, matanya yang masih tajam menscan seluruh ruangan dengan cepat. Setelah puas melakukan sidak, Tuan Kamizawa pun berlalu. Dari kejauhan masih terdengar gumamannya, "Memiliki anak gadis harus selalu waspada."

  Ranko menutup pintu dengan perlahan. Ia membalikkan tubuhnya dan berkacak pinggang. "Apa yang kau inginkan hingga mengikutiku sampai ke rumahku? Tak cukupkah kau mengangguku sepanjang perjalanan di gang?" Tanya Ranko dengan gusar. Kemudian, ia menghempaskan diri ke atas bantal besar di atas kasurnya. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya yang berwarna merah muda.

        "Aku hanya ingin meminta pertolongan padamu."

     Ranko mendengus. "Dengan menggangguku selama di gang saat kita pertama kali bertemu? Tadi saja kau menggangguku dengan rambutmu yang merayap dari bawah tempat tidur dan membelit kedua pergelangan kakiku."

    "Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Kau terus berpura-pura tak mendengar dan melihatku."

       "Tak bisakah aku memiliki privacy di kamar tidurku sendiri? Aku lelah sekali sepulang les Bahasa Inggris. Namamu Irma, kan?"

         Irma menganggukkan kepala.

        "Irma, aku ingin kau melupakan bahwa kita pernah bertemu. Kita berada di dunia yang berbeda. Aku masih hidup dan kau sudah mati. Kita tak perlu saling mengganggu. Titik."

       "Tapi, ini persoalan genting. Kau tak peduli jika si pembunuh berantai akan terus beraksi?"

       "Sudah ada polisi yang menyidiknya," sahutku tak peduli. "Apa yang bisa kuperbuat? Apa yang kau harapkan dariku? Aku hanya seorang gadis berumur 17 tahun yang duduk di kelas 12. Untuk apa aku mengambil risiko berbahaya?"

"Tapi kau kan indigo. Sudah selayaknya seorang indigo membantu hantu."

"Itu kan menurutmu. Aku bukan seorang indigo yang penuh perhatian. Seharusnya, kau bersama roh korban pembunuhan berantai lainnya bersatu padu menyerang si pembunuh berantai. Bukannya masih ada 2 korban lainnya?" Ranko mencibir. Ia meraih handphonenya dan memakai headset. Lantunan lagu I am So Tired -- Lauv&Troye Sivan sungguh sesuai dengan situasinya saat ini.

"DELA DAN LISA, KEDUA HANTU TAK BERGUNA ITU TAK INGIN MEMBALAS DENDAM. MEREKA TAK INGIN BERBUAT APA PUN. MEREKA APATIS SAMA SEPERTI DIRIMU," jerit Irma penuh amarah. Ia menampilkan dirinya yang sangat mengerikan. Matanya berupa rongga hitam kosong yang mengucurkan darah. Lidahnya yang menjulur sepanjang mata kaki, menjilati seluruh permukaan wajah Ranko.

    Ranko membuka mata dan meliriknya tajam. "Jangan bertingkah kekanak-kanakkan! Aku tak akan mengubah keputusanku. Terimalah nasibmu yang malang dan berbesar hatilah." Kemudian, ia kembali memejamkan mata.

Irma yang kehabisan akal, membelit tubuh Ranko dan menggantungnya di udara hingga kepala Ranko berada di bawah. "Gadis indigo jahat! Aku sudah merendahkan diri untuk memohon pertolongan, tapi kau tak memiliki rasa empati sedikit pun."

Ranko melihat ratusan ular kobra yang siap menyambarnya. Ia tahu itu semua hanya halusinasi. Tapi, tak urung ia merasa ngeri juga melihat geliatan ular-ular tersebut.

"Baiklah, apa yang kau inginkan?" Tanya Ranko dengan waswas. Ia menganggap Irma termasuk golongan hantu sableng yang egois.

Dengan senyum penuh kemenangan, Irma melenyapkan seluruh ular kobra itu. Kemudian, menurunkan Ranko ke atas kasur dengan lembut. "Aku akan memperlihatkan adegan pembunuhanku.  Mungkin kau akan memperoleh petunjuk. Kuharap kau bisa membantuku mencari pembunuhku."

Belum sempat Ranko menolak, Irma sudah menjentikkan jarinya. Tiba-tiba Ranko merasa dadanya sesak. Paru-parunya terasa terbakar. Sekujur tubuhnya diselubungi asap hitam. Saat asap tersebut memudar, ia berdiri di gang menyeramkan saat ia pertama kali bertemu dengan Irma. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat Irma yang sedang telungkup sembari terisak. Cahaya lampu jalan yang temaram menunjukkan siluet wajah yang bertopeng hitam. Pria itu berdiri di sisi Ranko. Ia menendang Irma. Kemudian, ia menginjak kedua tangan Irma berkali-kali.

"Tolong lepaskan aku! Aku janji akan memberikanmu banyak uang."

"Tidak. Aku tak perlu uang. Aku hanya memerlukanmu untuk melakukan ritual sihir," seru suara yang tak asing bagi Ranko. Tak mungkin itu suara Ray. Ini hanya ilusi.

"Jangan potong rambutku!"

"Diamlah! Atau, kubunuh kau sekarang?" Seru pria bertopeng itu sembari menjambak rambut Irma yang menjerit kesakitan.

Tanpa sadar Ranko berusaha melerai mereka. Ia terkejut karena kedua tangannya menembus tubuh pria bertopeng itu. Oh ya, ia sedang berada dalam flash back rekonstruksi pembunuhan Irma. Seharusnya, ia tetap bersikap tenang dan menganalisis situasi.

Dengan cekatan, pria bertopeng itu memotong rambut panjang Irma yang indah dan memasukkan rambut tersebut ke dalam sebuah kantung biru. Ia mendekap kantung biru tersebut seolah-olah berlian.  Ia tak menyadari mata Irma berkilat penuh kebencian. Dengan nekat, Irma menghantam kepala pria tersebut dengan sebuah batu. Tapi, pemberontakan Irma gagal total. Tepat ketika kedua tangan Irma ditelikung, sebuah buku terjatuh dari saku pria tersebut.

Irma menatap buku berjudul Jurnal Hantu tersebut dengan nanar. Kemudian, matanya meredup seperti lampu neon yang akan mati. Punggung Irma bersimbah darah segar seperti pancuran. Tak urung Ranko merasa mual melihat Irma yang sekarat.

Pria bertopeng itu membungkuk untuk mengambil Jurnal Hantu yang berada di depan wajah Irma. Irma yang nekat, memanfaatkan kesempatan itu. Tangan kanannya yang gemetar berhasil merenggut topeng. Tapi pria itu kembali menusuknya dengan membabi buta hingga Irma menemui ajalnya.

      Jeritan kecil lolos dari mulut mungil Ranko. Ia tak mungkin salah mengenali wajah pria yang telah membunuh Irma dengan begitu keji. Ray. Itu jelas wajah Ray. Tapi, Ranko tak mengenali kegilaan di mata Ray yang dingin.

Tiba-tiba Ranko kembali diselubungi lautan asap hitam. Ia pun merasa paru-parunya ditusuki ribuan jarum hingga ia memejamkan mata untuk menahan sakit. Ketika rasa sakitnya mereda, ia membuka mata secara perlahan-lahan. Hantu Irma sedang menatapnya dengan seksama. Senyum misterius bermain di bibirnya.

"Bagaimana? Apakah kau bisa membantuku untuk menemukan pembunuhku?" Tanya Irma.

Ranko menghela napas. "Aku tak bisa membantumu."

"Mengapa tidak bisa?"

"Bagaimana jika kau menipuku dengan halusinasi adegan pembunuhan? Apa buktinya bahwa rekonstruksi pembunuhan itu benar-benar terjadi dan bukan rekayasamu?

Irma tertegun. Ranko memang gadis keras kepala yang sulit diyakinkan. Oleh karena itu, Irma berkata, "Tampaknya kau lebih membela sang pembunuh dibandingkan sang korban. Apa kau mengenali pembunuhku?"

Kali ini Ranko yang terpana. Lidahnya terasa kelu. Apa yang harus ia jawab?

________

*Chichi= panggilan untuk Ayah dalam Bahasa Jepang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun