Ranko tertawa melihatku merengut. "Ray, mengapa kau malah mandi di sana? Memangnya ada air?"
Â
   Aku menatap pancoran bambu. Tak ada air setetes pun. Sungguh mistis area ini.
  "Tadi sih ada airnya," sahutku lemah hingga membuat Ranko menaikkan kedua alis matanya yang indah.
   "Aku tak menyangka kau bernyali besar untuk mandi di sana," puji Ranko.
   Aku tersipu malu. Tapi, Tama malah berpura-pura batuk.
***
  Jam dinding menunjukkan tepat tengah malam. Apakah aku akan mati saat ini? Belum pernah aku merasa semenderita ini. Napasku sesak seolah-olah paru-paruku ditarik keluar. Jantungku berdetak secepat shinkansen.
Ah, ternyata ini penyebabnya. Sesosok nenek berkebaya yang serupa dengan Nenek Dian sedang mendudukiku yang sedang berbaring. Ia mencekik leherku sekuat tenaga dengan jemarinya yang seperti ubi kayu. Tiba-tiba pandanganku berwarna-warni akibat berlembar-lembar kain selendang yang bersumber dari ikat pinggang si nenek. Aku ingin menyibak belitan kain kumal tersebut, tapi seluruh tubuhku sekaku mayat. Walaupun aku menjerit, lidahku yang kelu tidak menghasilkan suara apa pun.
"MATILAH. MATI. AKU INGIN KEMATIANMU," kutuk nenek tua bangka tersebut. "MATILAH KAU, RAY! MATI! MATI! MATI!"
Tekanan jari nenek sihir ini seperti jepitan besi. Dalam hati aku melafalkan mantera pengusir hantu.