"Hai, apakah kau mengenalku?" Tanyaku pada gadis bergaun merah itu. "Mengapa kau menatapku terus-menerus?"
        Gadis itu tak bergeming walaupun rintik hujan turun semakin deras. Semakin kuperhatikan sosoknya terlihat semakin menyedihkan. Punggungnya yang tegak tak berhasil menyembunyikan kehampaan dirinya.
        "Hallo, apakah kau mendengarku? Apakah kau mengenalku? Apakah kau ada keperluan denganku?" Tegasku. "Mengapa kau diam saja?"
        Gadis tersebut tetap mematung. Desiran angin mempermainkan rambut hitamnya yang panjang berkilau dan menjuntai hingga mata kaki. Aroma busuk sangat tercium hingga aku dan Ranko menutup hidung kami dengan sebelah tangan. Mungkin ada tikus mati di halaman kedai ini?
        Ranko meremas tangan kiriku. Tangannya terasa dingin. Ia berbisik, "Ray, sebaiknya kita tinggalkan saja dia. Percayalah padaku."
        Aku menepis tangan Ranko. Seperti terhipnotis oleh gadis bergaun merah itu, aku tetap bertanya, "Kau tak kedinginan berada di bawah rintik hujan? Apa kau sedang cosplay sehingga berpenampilan seperti itu?"
Rambutnya beriak-riak seperti gelombang hitam ketika ia menoleh. Pupil matanya yang kukira cokelat tua ternyata sepucat kristal. Kemudian, ia menelengkan wajah 180 derajat hingga aku terkesiap. Tak mungkin leher manusia biasa bisa melakukan hal seperti itu. Aku seperti menonton film alien 3D.
Makhluk jelita itu membuka mulutnya. Ranko tak bisa menahan jeritan kecil. Makhluk itu tak memiliki gigi ataupun lidah. Hanya rongga hitam yang terlihat bak celah gua. Awalnya, ia bersenandung lembut. Kami seperti tersihir. Dan kemudian, ia mulai terpingkal-pingkal.
HIHIHIHIHI.
HIHIHIHIHI.