Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menjaga Perdamaian di Semenanjung Korea

27 Agustus 2024   06:49 Diperbarui: 28 Agustus 2024   08:25 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

Krisis keamanan di Semenanjung Korea, kawasan Indo-Pasifik, diakibatkan ancaman nuklir Korea Utara. Krisis tersebut tak hanya terkait Korea Selatan, tapi global. Karena Korea Selatan merupakan aliansi Amerika Serikat (AS), kawasan Indo-Pasifik merupakan teater yang penting bagi AS. 

Hal tersebut terbukti dengan adanya US Forces Korea atau USFK, penugasan (deployment) kapal selam AS bertenaga nuklir, penugasan Carrier Strike Group sebanyak 2 iterasi di Semenanjung Korea, pembentukan Kelompok Konsultasi Nuklir (Nuclear Consultative Group atau NCG), latihan militer gabungan, dll. Ancaman konflik nuklir di Semenanjung Korea berpotensi membahayakan nyawa WNI yang bekerja di area tersebut sehingga masalah ini wajib diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia.

Untuk menganalisis krisis keamanan di Semenanjung Korea, sebaiknya memahami Perang Korea (25 Juni 1950-27 Juli 1953). Perang Korea merupakan perang proksi antara Korea Selatan (proksi dari AS yang bekerjasama dengan sekutu PBB) dengan Korea Utara (proksi dari China yang bekerjasama dengan Uni Soviet). Tak mengherankan sekarang ini Korea Utara yang tertutup, menjalin hubungan baik dengan China dan Rusia (dulu Uni Soviet). Berdasarkan hal tersebut, krisis di Semenanjung Korea tak hanya merupakan ancaman konflik nuklir, tapi konflik ideologi dan geopolitik.

Sejak tahun 1952 Korea Utara memulai program nuklir nasional dengan mendirikan Atomic Research Institute. Sementara sejak tahun 1970 Korea Selatan tidak mengembangkan senjata nuklir. Oleh karena itu, Korea Selatan berupaya untuk denuklirisasi Semenanjung Korea secara diplomatik. 

Pada tanggal 14 Februari 2008, Korea Utara dan Korea Selatan menyatakan denuklirisasi di Semenanjung Korea untuk menghindari perang nuklir sehingga turut menjaga perdamaian di Asia dan dunia. Kenyataannya, hingga sekarang Korea Utara mengembangkan nuklir secara terus-menerus. Ketika Korea Utara terancam memperoleh sanksi dari PBB karena program nuklir dan ballistic missile, pada tanggal 28 Maret 2024 Rusia menggunakan hak vetonya sebagai Dewan Keamanan PBB. 

Pada tanggal 19 Juni 2024 Kim Jong Un, Presiden Korea Utara dan Vladimir Putin, Presiden Rusia menandatangani kesepakatan kerjasama jika terjadi penyerangan terhadap Korea Utara atau pun Rusia. Hal tersebut merupakan koneksi terkuat antara Korea Utara dan Rusia sejak akhir Perang Dingin.

Berdasarkan UU tahun 2022, Korea Utara melarang perundingan mengenai denuklirisasi. Korea Utara menerapkan strategi penggunaan nuklir sebagai pencegahan (nuclear detterance strategy). Menanggapi hal tersebut, Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan melakukan latihan militer gabungan dengan pesawat berkemampuan nuklir.

 Yoon Suk Yeol, Presiden Korea Selatan menyatakan Seoul tidak akan mengembangkan senjata nuklir. Kebijakan Korea Selatan tersebut merupakan komitmen Korea Selatan terhadap AS untuk denuklirisasi.  Pada bulan April 2023, AS dan Korea Selatan sepakat untuk meningkatkan kerjasama nuklir, yang diikrarkan dalam Deklarasi Washington. Deklarasi tersebut menyatakan pendirian Kelompok Konsultasi Nuklir (Nuclear Consultative Group atau NCG) dan menegaskan kembali komitmen AS terhadap Korea Selatan. Biden berkata, "Setiap serangan nuklir Korea Utara terhadap Korea Selatan akan memperoleh respon yang cepat, menguasai, dan menentukan."

Strategi Keamanan Nasional (Grand Strategy) AS ialah membela tak hanya kepentingan AS, tapi juga aliansinya, termasuk Korea Selatan. Oleh karena itu, Biden mengancam akan meruntuhkan rezim Kim Jong Un jika Korea Utara terus saja mengembangkan senjata nuklir. 

Sebagai bentuk diplomasi kapal perang (gun boat diplomation), AS mengirimkan kapal selam bertenaga nuklir ke Pelabuhan Busan, Korea Selatan pada bulan Juli 2023. Diplomasi AS tersebut ditanggapi Korea Utara dengan melanjutkan uji coba rudal balistik yang mampu menjangkau daratan AS. Hal tersebut berpotensi meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.

Korea Utara kontradiktif. Korea Utara berulangkali menyatakan dukungannya terhadap pelucutan senjata nuklir. Namun, Korea Utara menyatakan pentingnya senjata nuklir untuk keamanan, yaitu menghadapi ancaman sehingga tidak mungkin Korea Utara melucuti senjata nuklirnya sendiri. Senjata nuklir sangat efektif untuk provokasi dan merupakan diplomasi yang bersifat memaksa (coercive). 

Walaupun menghadapi sanksi embargo ekonomi yang menyebabkan kelaparan, Korea Utara bersikeras mengembangkan nuklir. Korea Utara memperoleh penghasilan yang besar dari ekspor senjata nuklir ke Rusia atau pun beberapa negara di Afrika. Secara teoritis, senjata nuklir merupakan diplomasi yang bersifat memaksa (coersive) sehingga Korea Utara memiliki posisi menawar (bargaining position) yang lebih tinggi. 

Walaupun demikian, Korea Utara tak memanfaatkan posisi tersebut. Dengan mengembangkan ballistic missile yang bisa mencapai daratan AS, tampak Kim Jong Nam ingin mengalahkan AS. Berkat senjata nuklir, ia mempertahankan rezimnya.

Motif lain Kim Jong Nam menggunakan nuklir ialah ekspansi terhadap Korea Selatan. Korea Utara berpotensi menempatkan senjata nuklir taktis di Semenanjung Korea untuk menyerang Korea Selatan. Sementara pada tahun 1991 AS menarik senjata nuklir taktis dari Semenanjung Korea. 

Akibat meningkatnya ancaman nuklir Korea Utara, para senator Partai Republik AS mengusulkan penempatan kembali senjata nuklir di Semenanjung Korea. Untuk menanggapi usul tersebut, Rusia berniat meningkatkan pencegahan nuklir. Karena AS tak ingin meningkatkan ketegangan nuklir, pada tanggal 30 Mei 2024 AS menyatakan tidak akan menempatkan senjata nuklir, seperti rudal balistik jarak menengah, di Semenanjung Korea.

Latihan gabungan militer dilakukan secara intensif untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara. Pada tanggal 5 Juni 2024 AS dan Korea Selatan melakukan misi pelatihan penjatuhan amunisi aktif (nuklir) di Semenanjung Korea oleh pesawat bomber B-1B milik AS dan 2 F-15K Eagles milik Korea Selatan. Misi tersebut dilakukan pertama kali sejak tahun 2017.

Pada tanggal 11 Juli 2024, Yoon Suk Yeol dan Joseph R. Biden melakukan pertemuan untuk pengembangan kerjasama keamanan AS-Korea Selatan. NCG merupakan implementasi dari Deklarasi Washington. NCG berperan untuk mengembangkan aliansi strategis AS-Korea Selatan untuk mencapai denuklirisasi total, perdamaian, dan stabilitas di Semenanjung Korea. 

NCG memfasilitasi perancangan strategis dan nuklir terhadap kerjasama AS-Korea Selatan yang berfokus pada keamanan warga Korea Selatan. Tak hanya berkontribusi pada sinergi antara senjata konvensional Korea Selatan dengan operasi nuklir AS, NCG juga memfasilitasi pengembangan latihan gabungan AS-Korea Selatan.

Untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara, pada tanggal 12 Juli 2024 AS dan Korea Selatan menandatangani pedoman pertahanan nuklir gabungan, yaitu Pedoman AS-Korea Selatan untuk Pertahanan Nuklir dan Operasi Nuklir di Semenanjung Korea (the U.S.-ROK Guidelines for Nuclear Deterrence and Nuclear Operations on the Korean Peninsula). 

Pedoman tersebut berfungsi sebagai tuntunan untuk kebijakan aliansi dan wewenang militer dalam mempertahankan kebijakan pertahanan nuklir dan postur yang kredibel dan efektif, yaitu integrasi pertahanan nuklir antara senjata nuklir AS dan senjata konvensional Korea Selatan dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara. Pedoman tersebut tidak menspesifikasi bagaimana tanggapan nuklir AS dalam menghadapi ancaman nuklir Korea Utara. 

Hal tersebut menunjukkan bahwa AS menerapkan kebijakan ambigu (ketidakjelasan) yang merupakan kebijakan paling efektif dalam pertahanan serangan nuklir karena membuat Korea Utara tidak bersiap atau tidak meningkatkan pertahanan nuklirnya. Kebijakan ambigu AS mengenai tanggapan nuklir Korea Utara akan meningkatkan kredibilitas pertahanan nuklir AS dan Korea Selatan. Walaupun demikian, aliansi AS-Korea Selatan harus meningkatkan integrasi senjata konvensional-nuklir; komunikasi strategis; latihan dan simulasi; biaya pertahanan nuklir; dan implementasi manajemen risiko.

            Untuk menghadapi ancaman nuklir Korea Utara, sebaiknya dilakukan:

  • Peningkatan pertahanan nuklir yang meminimalisir penggunaan nuklir.
  • Selain nuklir berbahaya bagi organisme hidup, residu nuklir dan radiasi termal saat ledakan nuklir berpotensi merusak lingkungan sekitar.
  • Negosiasi damai dengan Korea Utara.
  • Korea Utara yang tertutup, dekat dengan China karena Korea Utara mengekspor hasil logam mulia seperti emas, perak, dll ke China. Sebaiknya China yang memiliki hubungan baik dengan Korea Utara, turut serta berperan mendorong Korea Utara untuk denuklirisasi.
  • Mengembangkan aliansi global sehingga saling berbagi informasi mengenai Korea Utara, membentuk pasukan gabungan, dll yang bertujuan memprovokasi Korea Utara agar denuklirisasi.
  • Membentuk organisasi global masyarakat keturunan Korea Utara yang bertujuan menyebarkan perdamaian. Walaupun masyarakat Korea Utara terisolir, mereka mengakses informasi global secara diam-diam. Adanya organisasi tersebut mendorong semangat perubahan menuju arah demokrasi yang lebih baik pada Korea Utara yang menelantarkan kesejahteraan masyarakatnya dan juga mengancam perdamaian dunia, khususnya di kawasan Indo-Pasifik.

Sumber gambar: pixabay.com.
Sumber gambar: pixabay.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun