Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dendam atau Cinta?

27 Juni 2024   02:46 Diperbarui: 27 Juni 2024   16:03 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Frania Sayangku,
Apa yang kau inginkan untuk mas kawin? Sebentuk cincin emas dengan mutiara kesukaanmu? Aku akan berusaha melamarmu secepatnya. Tunggulah aku! Masih banyak urusan bisnis yang harus kuselesaikan. Produk sandal buatan RRC yang seharusnya dibongkar muat di Ukraina, terpaksa kembali ke Guangzhou karena kebijakan embargo Uni Eropa yang memproteksi produk buatan Eropa. Bisnisku mengalami kerugian sangat besar.
Janganlah kau menjalin kasih dengan pria lain! Aku pasti akan datang. Tunggu! Tunggulah aku! Walaupun kau berada di belahan dunia yang lain, aku pasti akan menemuimu.

Mischa

_____________


Satu tahun...
Dua tahun...
Tiga tahun...
Empat tahun...
Lima tahun...
Enam tahun...
Tujuh tahun...

Hubunganku dan Mischa sudah terjalin selama 6 tahun. Menginjak tahun ketujuh, Mischa lenyap begitu saja.

Aku menunggu dan menunggu. Terus menunggu hingga rasa cinta sungguh pedih tak terperi. Tentu ini bukan lagu Menunggu yang dinyanyikan Chrisye feat Peterpan. Harus berapa lama aku menunggumu?

Bukankah batas rasa cinta dan benci itu bagaikan selembar benang halus. Mungkin dunia akan menganggap diriku sedungu keledai karena terus menunggu bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi aku tak sanggup mendendam pada Mischa. Ia tak hanya kekasih, tapi juga teman dan kakak yang selalu ada dalam suka dan duka sebelumnya. Tapi mengapa semesta berkehendak lain? Mengapa ekonomi makro mempengaruhi hubungan cintaku? Apakah rasa harga diri pria begitu tinggi hingga mengabaikan cinta? Mischa, jika kau tak memiliki apa pun, aku pasti akan menerimamu apa adanya.

"Frania, kau ini wujudku semasa lebih muda. Sangat ambisius dan ingin menjelajah dunia. Kau harus mengingat pesanku ini. Jenius dan gila batasnya begitu tipis hingga sulit dibedakan. Berhati-hatilah jangan sampai terperosok dalam kekelaman jiwa!" -Mischa.

Aku dan Mischa bagaikan doppelganger walaupun fisik kami jauh berbeda. Kami memiliki kesamaan mengerikan dari darah nenek moyang yang serupa, yaitu Mongolia yang berjiwa sebebas burung rajawali yang melayang di angkasa. Kami berdarah Eropa. Aku memiliki sepercik darah Belanda, sementara Mischa berdarah Jerman, Rusia, dan Polandia. Latar belakang keluarga kami sama. Latar pendidikan kami mirip, yaitu ilmu teknik. Hewan peliharaan kami bagaikan kembar. Penyakit keturunan yang diderita keluarga kami sejenis. Bahkan, karakter kami yang ambisius dan pemarah pun serupa. Hingga Mischa pun menganggap kemiripan kami begitu mengerikan seperti kutukan nenek sihir.

"Aku sangat takut dengan kesamaan kita. Bagaikan melihat cerminan diriku sendiri dalam wujud perempuan. Dibanding kekasih, kau lebih menyerupai adik laki-lakiku. Walaupun suatu saat hubungan kita tak berjalan lancar hingga pernikahan, kita tetaplah keluarga. Tak selamanya cinta itu harus berakhir dengan pernikahan." -Mischa.

Aku terlalu menyepelekan peringatan-peringatan Mischa. Manusia giat berusaha, tapi jodoh memang di tangan Allah Swt.

Kutatap sedih layar komputerku. Tak pernah lagi ada e-mail atau pun kontak apa pun dari Mischa. Pujaan hati yang ditunggu tak kunjung datang. Entah apa salahku hingga mengalami siksaan hati seperti ini?

Hal yang paling menyakitkan tak ada kata perpisahan sepatah kata pun. Bukankah diabaikan itu jauh lebih menyakitkan? Hanya cicak di dinding yang menemani isak tangisku di malam yang panjang tak bertepi.

Dendam ini mengalir di seluruh pembuluh darahku. Meracuni hatiku hingga menggelap. Menciptakan halusinasi bagaikan sel-sel kanker yang menggila. Adakah perempuan lain di hati Mischa hingga ia melupakanku begitu saja? Maka, kukerahkan kemampuan detektifku dan mengintai keberadaan si perempuan lain. Ternyata dugaanku benar. Ada perempuan lain yang sedang dekat dengan Mischa.

Sumber gambar: pixabay.com.
Sumber gambar: pixabay.com.

Mengapa Nguyen Vin Linh, gadis Vietnam itu harus merebut kekasihku? Harus kuakui gadis itu begitu belia dan cantik. Sudut matanya meruncing ke atas persis seperti kucing. Wajah oriental memang sangat disukai Mischa. Memakai gaun Vietnam, Linh tampak memukau. Siluet tubuhnya yang ramping tampak serasi berbaur dengan alam.

Untuk menyelidiki Linh, aku pun membujuk sahabatku, Jean, mantan pasukan khusus Prancis, via video call. Ketika perang cinta, tak ada salahnya untuk memohon bantuan pada mahaguru cinta. Jean yang berusia setengah baya ini luar biasa rupawan di masa mudanya. Pria flamboyan ini seorang homme fatale (penakluk hati perempuan). Ia canggih dalam perang baik perang militer maupun perang cinta! Berlebihan, ya? Hingga menurunkan kuda perang Prancis untuk menghadapi gadis Vietnam yang jelita. Tapi, tak ada yang berlebihan untuk perjuangan cinta! Jangan pernah menganggap enteng musuh cinta!

"Kau mengaku sahabatku. Masa kau tak mau menolongku? Berpura-puralah tertarik pada gadis Vietnam itu. Selidiki.hubungannya dengan Mischa," pintaku. Kedua mataku pun diredupkan agar terlihat sesedih mungkin. Jika diperlukan, aktingku bisa menyerupai kerlingan sedih Vivian Leigh dalam Gone with the Wind.

"HAHAHA. Kau ini ingin main detektif. Lupakan saja Mischa, pria tak tahu diri itu. Kau ini seharusnya menikah dengan pria Indonesia. Tak cocok dirimu yang menganggap hubungan cinta itu begitu serius. Kami pria Eropa lebih mementingkan hidup dibandingkan cinta. Hanya sakit hati dan penantian sia-sia yang akan kau peroleh jika kau bersikeras mempertahankan hubungan dengan pria itu," tegas Jean. "Apalagi darah yang mengalir di kekasihmu. Ya Tuhan, seleramu benar-benar unik! Aku tak bisa mempercayainya. Mischa pria yang sedingin es, jauh berbeda dengan pria Prancis yang sehangat wine."

"Jean...tolonglah...S'il vout plait..." seruku mengiba. Tak lupa kupasang raut wajah sesendu mungkin. Rasanya, piala Oscar sudah di depan mata.

Jean menghela napas. "Ma chere amie (sayangku), aku akan melakukannya. Khusus untukmu, aku akan jadi James Bond. Tapi jangan menangis jika hasilnya tak sesuai dengan yang kau harapkan. Tak ada pria yang berharga untuk kau tangisi. Jika kau patah hati, aku akan selalu ada untukmu."

"HUUU...Gombal!"

"Ini bukan gombal. Tapi ungkapan hati terdalam. Aku jauh lebih mencintaimu dibanding si Mischa."

Jean ini selalu saja bercanda di situasi segenting ini. Allo! Ini situasi darurat militer cinta...


***
Dua minggu kemudian,

Jantungku berdetak kencang. Telah tiba waktunya Jean untuk melaporkan hasil penyelidikannya. "Bagaimana, Jean? Apa informasi yang kau peroleh?"

"Sesuai perkataanmu, Linh gadis Vietnam yang sangat cantik. Jika aku masih belia, aku pun akan mengejarnya. Tapi ia sudah memiliki tunangan, yaitu pemuda Inggris."

"Tidakkah ia menceritakan hubungannya dengan Mischa? Mungkin mereka selingkuh?"

"Tidak. Linh seorang pemandu wisata di Kota Hanoi. Mungkin mereka berkenalan karena hal tersebut. Ia gadis baik sama sepertimu."

"Jangan samakan dirinya denganku!" Sahutku angkuh. "Kau lebih membelanya, ya?"

Jean tertawa keras. "Baru kali ini aku melihatmu marah seperti kucing kesetrum. Aku tak membelanya. Hanya fakta."

Aku merengut. Ternyata, Jean, si mahaguru cinta, kurang bisa diandalkan. Maka, kuputuskan untuk menginterogasi sendiri Linh.

"Aku tak terlampau mengenal Mischa. Hubungan kami hanya teman biasa. Ia memintaku untuk menjadi pemandu wisatanya selama berlibur di Vietnam. Tak ada yang perlu kau khawatirkan," ucap Linh ramah.

"Apakah aku bisa meminta tolong?"

"Tentu saja. Aku senang menjadi teman barumu. Kupikir jahat sekali Mischa tak mau memberimu kepastian."

"Tolong tanyakan apakah ia masih mengingat namaku. Mengapa ia tak mau berkomunikasi denganku?"

"Okay."

Keesokan harinya, Linh pun melaporkan bahwa Mischa mengakui aku sebagai kekasihnya. Tapi ia tak mau menjawab mengapa ia tak mau berkomunikasi denganku. Oleh karena itu, aku berkesimpulan memang Mischa ingin mengakhiri hubungan cinta kami. Sudah tak ada asa.

Linh bukan penyebab cintaku kandas. Memang ekonomi makro dan situasi bisnis yang membuat Mischa mundur teratur. Walaupun pahit, aku harus mengakui rasa cinta Mischa tak sebesar diriku.

Tapi, Andy, sahabatku yang sebijak burung hantu, beropini sebaliknya, "Mischa tak sanggup menghadapi perpisahan denganmu. Ia sangat mencintaimu hingga tak ingin memberimu kenangan pahit. Dengan begini, kau hanya akan mengingat moment manis bersamanya."

Siapa yang berkata perempuan itu rumit? Mischa membuktikan pria juga serumit persamaan geometri. Apa sulitnya untuk berpisah dengan manis ala K-Drama? Aku berhak atas hal tersebut.

Selama sebulan aku meratapi hubungan cintaku yang kandas. Tapi hingga kapan aku akan berkubang dalam duka seperti ini. Walaupun air mata membanjiri wajahku, dunia tak akan hancur. Bumi akan tetap berotasi 24 jam. Mentari tetap terbit setiap hari. Aku jenuh mengasihani diri. Maka, kuputuskan untuk berubah. Tak akan kubiarkan ekonomi makro menghancurleburkan hubungan cintaku lagi. Aku pun bertekad melanjutkan studi mengenai Bisnis.

Ternyata aku jenius. Walaupun demikian, aku bisa merasakan hidungku memanjang semeter seperti Pinokio.

Aku telah menemukan hipotesis baru mengenai cinta dan bisnis. Hubungan cinta dengan bisnis itu berbanding lurus, bukan terbalik. Semakin bisnis lancar, hubungan cinta semakin lancar. Dan sebaliknya. Aku pun sukses ditimpuk kamus oleh para profesor bisnis dari segala arah.

Ketika patah hati, kita harus menyibukkan diri agar otak tetap jernih. Semakin banyak patah hati, harus semakin banyak pencapaian yang diraih. Setelah 2 tahun bersusah payah, aku pun berhasil lulus kuliah dan memperoleh gelar Master.

Bagaimana jika aku patah hati lagi? Apakah aku akan bertekad memperoleh gelar doctorate, post-doctorate, atau bahkan profesor? Masa aku harus patah hati berulang kali agar terpacu untuk melanjutkan studi?

Hanya waktu yang bisa berbicara. Yang jelas, gelar profesor cinta bisa diraih oleh siapa pun dengan berpikiran positif. Cinta tak selalu harus dimiliki.

Dendam harus diubah menjadi pikiran positif agar tak menghasilkan jerawat, apalagi kerutan. Ketika dendam otak kita akan kreatif. Tubuh pun bergerak aktif. Aku harus melampaui diriku sendiri dan mengalahkan rasa dendam. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mendendam.

Lagipula ada bahaya terselubung dari dendam. Jika cinta berubah menjadi dendam, bagaimana dengan sebaliknya? Jika terlampau memendam dendam, berisiko menjadi cinta. Memusingkan, bukan?

Sekarang aku dendam dengan Narak, sahabat lamaku. Aku benci kedua matanya yang selalu menatapku dengan intens seolah menginvasi relung hatiku. Tak bisakah hatiku dibiarkan sendiri?

Aduh! Apakah obat penawarnya? Jantungku serasa melompat keluar!

____

Cerpen ini diikutsertakan pada event Komunitas Penulis Berbalas (KPB) berhadiah pulsa dan novel kapak algojo dan perawan vestal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun