Bram meneguk ludah. Lidahnya terasa kelu, sedangkan kerongkongannya kering kerontang. Dahaga mencekik dirinya. Tapi, bukan dahaga karena haus akan air. Ia begitu dahaga untuk memiliki sesosok tubuh gemulai yang berada di hadapannya.
  Seharusnya, Bram membalikkan tubuh dan menjauhi tepi sungai. Biasanya, ia pria yang sopan dan pemalu. Tapi, tidak pada kesempatan ini. Ia mengikuti insting liarnya dan malah memilih untuk tetap bersembunyi di antara semak-semak. Jantungnya berdegup kencang seolah hendak melompat keluar. Ia terpana melihat keelokan pemandangan terlarang di hadapannya. Gadis desa itu sangat cantik hingga terasa tak nyata. Gadis tersebut mandi di tepi sungai dengan menggunakan kain kemben yang melekat di tubuhnya seperti kulit kedua. Pemandangan yang eksotis sehingga jakun Bram bergerak gelisah naik turun. Ia bisa mengerti perasaan Jaka Tarub saat mengintip tujuh bidadari mandi di sungai. Rasa penasaran, takjub, dan ingin menguasai bercampur aduk.
Tak mempedulikan situasi di sekitarnya, gadis itu bersenandung riang. Ia bermain air layaknya anak kecil. Bahkan, ia setengah menari sembari memercikkan air. Semburat cahaya matahari yang keemasan menari-nari di wajahnya. Alam seolah ikut bergembira dengan dirinya yang setengah mendongakkan kepala ketika tertawa. Ia tak menyadari sepasang mata kelam yang menatap liar dari balik rerumpunan.
Bram menggigit bibirnya kuat-kuat untuk mengembalikan kesadaran dirinya. Sekejap ia merasa jengah karena ia sadar bahwa ia telah bertingkah layaknya pria mesum. Tiba-tiba ia tersentak karena ada sesuatu yang licin melilit erat kaki kirinya. Ternyata ada ular kecil berwarna hijau daun. Ular itu mendesis marah dan meleletkan lidah merah mudanya yang bercabang dua. Ia langsung memegang kepala ular tersebut dan melemparnya. Ketika ia kembali menatap sang gadis, gadis tersebut telah lenyap seperti ditelan bumi. Bram tertegun dan mengucek kedua matanya. Tapi, gadis itu benar-benar lenyap sehingga ia merasakan tikaman rasa kehilangan. Apakah ini hanya halusinasi? Tapi, gadis itu tampak begitu nyata dan hidup. Ia bersumpah dalam hati bahwa ia harus menemukan gadis misterius tersebut.
Keesokan harinya, Bram datang kembali ke tepi sungai. Ia duduk anteng di atas batu besar yang berada di dekat tepi sungai. Walaupun ia menunggu berjam-jam hingga menjelang sore, tapi gadis itu tak kunjung muncul.
Ibarat kecanduan, Bram melupakan pekerjaannya berladang cabai merah. Ia hanya merenung dan menunggu gadis tersebut di tepi sungai setiap harinya dan baru pulang ketika matahari sudah tenggelam. Penduduk Desa Arum berbisik bahwa Bram diganggu roh halus penunggu sungai. Mereka bergosip bahwa roh Bram telah diambil sebagian oleh sang roh halus penunggu sungai. Tapi, keluarga Bram tak percaya takhayul. Mereka bersikeras dengan berjalannya waktu, Bram akan menyadari bahwa gadis tersebut memang menghilang dan bukan jodohnya. Bahkan, mereka berinisiatif menjodohkan Bram dengan Ima, gadis cantik dari desa sebelah. Tapi, Bram menolaknya mentah-mentah. Tidak ada satu pun gadis yang bisa menggantikan gadis tepi sungai idamannya itu.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tak terasa sudah setahun Bram merindukan sosok gadis yang dicintainya. Penduduk desa sudah terbiasa melihat Bram yang hidup dalam dunianya sendiri.
Â
  Berkat bantuan penduduk desa yang iba pada dirinya, Bram tidak lagi menelantarkan tanaman cabai merahnya. Tapi, ia masih mencari gadis impiannya. Selesai mengurus tanamannya, Bram pasti menyempatkan diri untuk melihat tepi sungai sejenak.
Bram terus-menerus bermimpi gadis cantik tersebut. Tak terhitung banyaknya mimpi Bram menyusuri tepi sungai bersama sang gadis jelita. Gadis itu selalu tersenyum manis. Tapi, tak pernah sekalipun ia bersuara dalam mimpinya.
  Bram kasmaran. Ia ingin sekali mengetahui siapakah nama gadis yang telah berani mencuri hatinya tersebut?