"Mengapa sih kamu memaksaku untuk berbulan madu di penginapan reyot seperti ini?" Hardik Lisa.
   "Semalaman aku tidak bisa tidur karena ada ketukan palu di dinding terus-menerus. Ketika kutanyakan pada resepsionis, tidak ada yang mengisi kamar sebelah kamar kita. Dan mereka tidak melakukan renovasi. Jadi, yang kudengar itu apa? Bunyi palu hantu?"
"Sayang, ini kan hadiah pernikahan dari orang tuaku. Aku merasa tidak enak hati jika menolaknya. Lagipula fasilitas penginapan in tidak seburuk yang kau kira. Viewnya sangat indah dan pantainya sangat nyaman untuk berenang. Makanannya pun cukup enak," bujuk  Soni.
Lisa masih merengut.
"Pakailah bikinimu yang baru itu. Mari kita berjemur dan menikmati bulan madu kita."
 Lisa menganggukkan kepala. Ia menyeruput jus jeruknya.
***
Lisa mendesah puas. Sinar matahari yang hangat mencium setiap jengkal tubuhnya dan meninggalkan jejak kecokelatan.
"Lisa, mari berenang. Air lautnya nyaman sekali. Ombaknya pun tak terlampau besar," Teriak Soni yang sedang berenang.
"Sayang, hati-hati. Berenangnya jangan terlampau ke tengah," Jawab Lisa sembari melambaikan tangan sebagai isyarat agar Soni berenang menepi.
Tapi, bukannya menuruti permintaan Lisa, Soni malah balas melambaikan tangan dengan antusias dan berenang lebih ke tengah. Lisa memicingkan matanya. Kemudian, ia kembali memberi isyarat agar Soni keluar dari laut dan menemani dirinya. Tapi, lagi-lagi Soni mengabaikan permintaannya. Lisa menghela napas kesal. Kemudian, ia menutup mata dan kembali mendengarkan lagu Lauv favoritnya, Paris in the Rain, melalui earphone yang disambungkan ke spotify handphonenya.
Lisa terkejut ketika bahunya diguncang-guncangkan. Ia menengadah dengan mata memicing. Pikirannya belum jernih sepenuhnya. Ada dua orang yang berdiri di hadapannya. Mereka saling menyodokkan siku.
"Bu Lisa, maafkan kami. Pak Soni, suami Ibu tenggelam ditelan ombak. Tim SAR baru saja  menemukan jenazahnya. Kami perlu bantuan Ibu untuk mengenali beliau."
Tidak tampak ekspresi apa pun di wajah Lisa. Pandangan mata Lisa begitu nanar. Semua kehidupan seolah membeku dan mati. Kemudian, ia bangkit berdiri.
Tampak jenazah Soni yang yang ditutupi kain terpal. Seorang petugas SAR menyingkap  sedikit kain tersebut sehingga Lisa dapat melihat wajah Soni. Kemudian, Lisa menatap wajah petugas tersebut dan menganggukkan kepala. Tiba-tiba Lisa merasa kelelahan yang luar biasa. Dan semuanya menjadi gelap.
Â
***
DOK DOK DOK.
DOK DOK DOK.
Lisa mengerang. Bunyi palu berdentam-dentam seolah menghantam kepalanya. Kemudian, ia membuka matanya dan menatap langit-langit kamar. Ia merasa tubuhnya begitu ringan. Ia masih merasa ini semua tak nyata. Ini hanya sebuah mimpi buruk. Tapi, jika ini hanya suatu halusinasi, bagaimana dengan jenazah Soni yang terletak di ruang mayat Rumah Sakit Mawar?
Tiba-tiba Lisa merasakan dahaga yang luar biasa. Tapi, tidak ada setetes air pun di kamar penginapan ini. Ia menekan nomor telepon Room Service, tapi tak berhasil tersambung. Maka, ia beranjak turun dari tempat tidur dan berjalan mengendap-endap menuju pantry penginapan.
Nikmatnya! Secangkir cokelat panas sungguh kemewahan di tempat creepy ini.
KRIET! KRIET!
Lisa merasa napasnya tercekat ketika pintu pantry terbuka. Dan sesosok pria jangkung masuk.
Tidak mungkin! Itu Soni, suaminya yang sudah mati tenggelam. Lisa sendiri telah memastikannya.
"Sayang, mengapa kau menatapku dengan pandangan seram seperti itu? Kau tak ingin memelukku?" Tanya Soni dengan senyum terkulum.
Lisa menjerit ketika menyadari tangan Soni yang berwarna kebiruan terjulur ke arahnya. Ia berusaha menghindar, tapi tak bisa. Kedua tangan Soni mengurung dirinya hingga punggung Lisa menempel pada dinding. "Sayangku, mengapa kau membuat segalanya begitu susah? Tak bisakah kau bahagia dengan diriku bersamamu?"
Jemari Soni bergemeretak pertanda ia menahan kejengkelan, "Jawablah. Tak bisakah kau menerimaku apa adanya?"
Lisa menggelengkan kepala dan menangis. "Kaaa....Kau sudah mati, Soni. Bagaimana bisa aku menerimanya?"
Hantu Soni mendengus jengkel dan menghilang.
Lisa ingin  berada di rumahnya yang nyaman sekarang ini juga. Persetan dengan segalanya. Ia mengepak ranselnya dan bersiap untuk pulang walaupun sekarang sudah tengah malam.
"Mau ke mana kau?" Tanya Soni. Matanya berkilat tajam. Tak pernah Lisa bermimpi bahwa Soni bisa berwujud hantu seseram ini. Darah bercucuran keluar dari luka-luka yang menganga di sekujur tubuhnya.
"Sarafku tak tahan lagi. Aku akan pulang untuk mengurus pemakamanmu. Kau jangan ganggu aku lagi."
Soni tertawa terkekeh-kekeh. "Bukankah kau mencintaiku?"
Lisa mengernyitkan kening. "Selamat tinggal. Aku memang mencintaimu, tapi kalau kau itu hidup dan bukan hantu."
Soni kembali terkekeh, "Lisa yang kukenal selalu berkepala dingin dan logis. Cobalah keluar dari penginapan ini jika kau bisa."
Lisa menghentakkan kaki yang merupakan kebiasaan buruknya jika ia marah. Kemudian, ia berlalu dari Soni sembari membawa ransel.
Pak Pandu, pemilik penginapan, masih belum tidur. Wajahnya pucat sekali ketika melihat Lisa. "Bu Lisa, mau ke mana?"
"Saya mau check-out sekarang juga. Saya akan pulang ke rumah saya di Kota Malang."
"Maafkan saya. Anda tidak bisa keluar dari penginapan ini."
Lisa menjerit dan mendorong Pak Pandu. Ia lari ke halaman parkir mobil dan menstarter mobilnya dengan susah payah. Gagal!
PRANG.
Pak Pandu memukulkan palu ke kaca mobil. Ia memasukkan tangan ke dalam mobil dan membuka kuncinya. Kemudian, ia menjambak rambut Lisa dan menyeretnya keluar dari mobil. "Tidak ada satu orang pun yang bisa lolos dariku."
Lisa menangis. "Soni, mengapa kau tak membantuku?"
Dengan muram, Soni berkata, "Lisa, mengapa kau masih belum sadar juga? Kau ini sudah mati sama sepertiku. Kau ini mati keracunan setelah mengenali jenazahku."
"Tidak," sanggah Lisa. Kemudian, ia menatap kedua tangannya. Ia baru sadar kedua tangannya tembus pandang.
"Kita semua terjebak di penginapan hantu ini. Pak Pandu itu iblis yang mengumpulkan jiwa manusia. Seluruh staf di penginapan ini merupakan korban Pak Pandu."
Lisa terbelalak menatap seluruh staf penginapan yang berwajah pucat. Mereka semua memandangnya dengan tatapan sedih. Mengapa ia tak pernah menyadarinya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H