Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Garuda Wisnu Kencana Bali, Karya Monumental Penuh Visi dan Misi

7 Maret 2010   23:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:33 3537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seseorang yang “berkelebihan” (berkuasa, berbakat, kaya raya, dll) selalu punya obsesi besar. Dari mereka-mereka inilah seringkali lahir karya-karya monumental yang menghiasi seluruh dunia dan bertahan sampai hari ini. Sebut saja: Sphinx di Mesir, Eiffel di Perancis, Borobudur, Tembok besar China, dll-dll. Presiden pertama kitapun dalam keadaan rakyatnya miskin tetap nekat membangun Monas dan menjadi “landmark” Jakarta sampai hari ini.

Membangun “obsesi” memang seringkali menentang realitas sehingga, khususnya pada jaman dahulu, menimbulkan korban nyawa manusia yang amat besar jumlahnya. Bisa anda bayangkan bagaimana caranya membangun Tembok Besar China dengan tenaga tradisionil manusia biasa. Sedangkan di jaman moderen, membangun obsesi juga seringkali menabrak secara frontal realitas yang ada, seperti yang dilakukan Presiden Soekarno itu.

Bagaimana halnya dengan “Garuda Wisnu Kencana” Bali? Ini sebetulnya juga sebuah “obsesi” dari seniman besar Indonesia I Nyoman Nuarta. Bisa anda bayangkan bagaimana besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan sosok patung tembaga setinggi 75 m dan lebar 64 m plus dasarannya (pedestal) yang tingginya juga sekitar 75 m (setara dengan gedung bertingkat 17) dengan semua fasilitas yang ada di dalam kompleks GWK tersebut. Berat total tembaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan patung tersebut bisa mencapai 4000 ton. Lokasi proyek itu sendiri adalah di sebuah bukit cadas yang gersang di Bukit Ungasan – Jimbaran, Bali, dan itu artinya juga termasuk biaya pemotongan bukit cadas yang total luasnya direncanakan sekitar 240 ha tersebut sampai sesuai dengan disain yang dibuat.

Jika patung itu bisa selesai, maka tinggi keseluruhannya dengan dasarannya (pedestal) akan mencapai sekitar 150 m dan terlihat sampai jarak sekitar 20 km. Jadi sosoknya akan bisa dilihat dari Kuta, Sanur, Nusa Dua hingga Tanah Lot. Di dalam kompleks tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kolam teratai dengan sumber air mancur alami (Sebuah keajaiban alam bahwa di bukit cadas gersang tersebut ternyata ada sumber air mancur alami), taman untuk berbagai festival, amphitheater, teater jalanan, ruang exhibisi, panoramik restauran, toko souvenir, dll yang mengindikasikan sebagai jendela Bali. Sungguh sebuah ikon yang spektakuler untuk Bali khususnya dan Indonesia umumnya.

Tinggi keseluruhan patung monumental tersebut jelas mengalahkan patung Liberty di New York yang setinggi 46m dan berdiri di atas pedestal setinggi 46 m juga. Total berat tembaga patung Liberty adalah 204 ton.

Nyoman Nuarta telah menggeluti obsesinya tersebut selama 25 tahun, dan anda lihat, bahwa karya tersebut belum selesai dan tak ada batas waktu kapan akan selesai. Anda harus benar-benar memaklumi hal ini, karena ternyata biaya lebih dari 1 (satu) trilyun rupiah yang dibutuhkan untuk mewujudkan semua obsesi itu tidak lahir dari kantong pemerintah, melainkan lebih banyak diusahakan oleh Nyoman Nuarta sendiri. Dalam kesempatan berbincang-bincang dengan penulis, Nyoman mengatakan: “Mana ada seniman Indonesia punya duit sampai trilyunan?” Oleh sebab itulah anda harus maklum kalau semua harus berjalan mengalir seiring situasi di negeri ini dan jalan hidup yang ada pada Nyoman Nuarta sendiri.

Mengapa Nyoman Nuarta senekat itu meraih mimpinya? Ini adalah persoalan visi dan misi yang diembannya. Visi dan misi itu terkait erat dengan pandangan hidup pribadinya sebagai seorang pekerja keras dan sangat ulet. Visi dan misi itu bisa dijabarkan secara lebih jelas dalam 2 (dua) hal pokok sbb:

Pertama, Ia menemukan Tuhan ketika ia sedang bekerja. Ia misalnya, tidak menemukan Tuhan dalam kekhusukan ritual keagamaan, tetapi lebih bisa menemukan Tuhan dalam karya, ketika ia mengubah suatu wujud tak berbentuk atau sebuah kawasan buruk menjadi berguna, sehat dan enak dipandang. Suatu lahan tandus tak bisa berubah ketika orang hanya berdoa saja, tetapi akan segera berubah ketika dia mulai menanaminya dengan pohon-pohon dan mengolahnya. Ia lebih menemukan Tuhan dalam realitas yang nyata, bukan diawang-awang. (Anda bisa membaca sebagian pandangan hidupnya dalam artikel yang akan segera saya susulkan setelah ini: “Berbincang-bincang dengan Nyoman Nuarta”)

Kedua, Nyoman menyadari sepenuhnya posisi dirinya sebagai salah satu seniman patung yang berhasil di negeri ini, baik itu dinilai dari segi karya maupun dari segi pengemasan karya tersebut menjadi sebuah produk yang memberi nilai lebih dalam banyak hal bagi masyarakat luas. Produk patung yang dikemas baik bisa menjadi “land-mark” sebuah kota, bahkan identitas sebuah bangsa. Orang belum merasa sempurna pergi ke New York kalau belum menyaksikan patung Liberty. Patung bisa mendatangkan devisa besar bagi Negara dan menyerap banyak tenaga kerja mulai dari proses pembuatannya sampai hasilnya setelah berdiri dan menjadi tontonan orang banyak.

Untuk hal kedua itu, lebih jauh Nyoman menjelaskan, bahwa hanya karya manusia yang bisa dibandingkan satu dengan lainnya. Karya Tuhan tak punya pembanding, karena Tuhan di Amerika dan di Indonesia sama saja. Tetapi karya pematung Indonesia dan luar negeri tentu berbeda. Perbedaan itu adalah nilai penting yang sudah menyatu dalam jiwa budaya itu sendiri. Karena perbedaan itu, orang bisa bertanya: Mengapa mereka bisa membuat itu dan kita tidak bisa? Dan lebih jauh lagi: Mengapa Negara lain bisa maju dan kita tidak? Perbedaan itu mendorong orang waras untuk maju. Hanya orang bodoh yang tidak tertarik untuk maju, dan sedihnya kita termasuk salah satu bangsa yang bodoh itu. Kalau dilihat sebagai pribadi per pribadi, tentu saja kita punya banyak orang pintar. Tetapi sebagai sebuah bangsa, kita ini termasuk bodoh.

Karena kesadaran akan posisinya itu, Nyoman punya tanggung-jawab moral untuk selalu mengingatkan bangsa ini akan pentingnya sebuah kerja keras kalau mau maju. Karena ia seorang pematung, yang dilakukannya ya membuat patung. Patung itulah bahasanya yang riil dan tidak omong kosong. Kalau orang menuduhnya membangun sebuah proyek mercusuar senilai 1 trilyun di tengah kemiskinan bangsa, maka apa yang harus dikatakan terhadap orang-orang di atas sana yang menilap uang trilyunan rupiah untuk kepentingannya sendiri? Lagipula, ternyata uang untuk membangun proyek GWK itu bukan lebih banyak dari kocek pemerintah, malah lebih banyak dari usahanya sendiri.

Itulah penjabaran dari Visi dan Misi ia membangun GWK. Pekerjaan fisiknya dimulai ketika ia melihat bukit cadas gersang dikawasan Bali sekitar 25 tahun yang lalu. Ia sangat tertantang untuk mengubah kawasan tersebut menjadi berarti. Bali adalah aset besar wisata Indonesia. Setiap jengkal tanah disana punya arti besar ketika diolah dengan benar. Ia melihat wajah miskin Indonesia di tanah cadas itu. Para buruh penggali batu kapur berjibaku setiap hari mencari sesuap nasi dengan menjual bongkahan-bongkahan batu cadas yang digalinya, bahkan digalinya bukan dari lahan miliknya sendiri melainkan dari tanah milik orang lain. Ia mulai terobsesi mewujudkan sesuatu disana.

Ketika gubernur Bali mendengar niatnya, kontan ia menjawab: “Pak Nyoman, mengapa mengambil wilayah itu? Itu wilayah tandus dan rusak akibat tambang kapur dan memiliki problem sosial yang kompleks.” Dan Nyoman menjawab: “Justru itulah yang akan membuatnya menjadi sangat berarti. Sekaligus saya mengerjakan dua hal: mengubah kawasan buruk menjadi baik secara fisik dan moral.” Pak Gubernur manggut-manggut dan sejak saat itu Nyoman mendapatkan ijin prinsip pembebasan lahan seluas 240 ha untuk proyek GWK di kawasan tersebut.

Tepat seperti dugaan Gubernur, ia menemui tantangan yang berat disana. Tetapi itulah Nyoman dan disana pula Tuhan menyapanya. Ia hadapi satu persatu premanisme, mulai dari soal pembebasan tanah sampai masalah kesempatan kerja, bahkan salah satu anak buahnya yang terlalu kasar pernah diikat oleh penduduk setempat. Nyoman menghadapi semuanya dengan tenang dan santun dan menyelesaikan satu persatu persoalan dengan pendekatan kemanusiaan yang otomatis selalu menonjol dari hati seorang seniman.

Ia, misalnya, bisa menerima dengan lapang dada ketika bongkahan batu cadas yang dikumpulkan dan esoknya hendak diratakan dengan stoom untuk dasaran jalan, malamnya ternyata amblas dijarah. “Inilah wajah kemiskinan yang harus kita berantas dengan menyediakan lapangan kerja”. Pihak Nyoman sangat paham bahwa tidak seluruh masyarakat banjar (banjar=desa) secara formal bisa menjadi pegawai GWK. Semua masyarakat anggota banjar yang ingin mendapatkan pekerjaan biasanya melalui sistem yang dinamakan "Ngaah" demi tercapainya kesejahteraan yang lebih merata, karena tentunya tidak semuanya bisa diterima bekerja dengan alasan faktor usia dan pendidikan.

Setiap bulan Nyoman menyumbang ke Banjar Pecalang (Keamanan Tradisional) sebesar 6 Juta, “Lanscape” kebersihan sebesar 17 juta dan perijinan sebesar 3 juta, sehingga total setiap bulan sebesar Rp. 26 Juta.” Nilai uang tersebut jelas besar pada waktu itu, ketika kurs dolar masih sekitar Rp 2500,- per dolarnya. Rata-rata masih ada sisa uang kas sebesar Rp 10 juta setiap bulannya di kas desa, sehingga dalam setahun bisa terkumpul sekitar 100 juta. Dana itu untuk kesejahteraan masyarakat sekitar.

Nyoman juga telah memberikan dana sekitar setengah milyar rupiah untuk pendidikan warga desa setempat. Banyak warga setempat yang akhirnya mengenyam pendidikan (kursus) di Politeknik dan Sekolah Tinggi Pariwisata. Keadaanpun mulai berbalik. Kalau dahulu banyak warga yang minta pekerjaan disana, sekarang tidak lagi karena mereka telah bisa bekerja dengan gaji lebih di tempat lain sebagai lulusan kursus di Politeknik dan Sekolah Tinggi Pariwisata.

Pada awalnya, jalan masuk ke kompleks GWK tersebut sangat sempit karena terhalang oleh tanah milik seseorang yang tidak bersedia dibebaskan tanahnya. Suatu kesempatan baik akan selalu ada, dan itu telah menjadi keyakinannya. Suatu saat dia punya kesempatan untuk menghadiri hajatan pernikahan putri sang pemilik tanah tersebut. Berikutnya keadaan menjadi cair. Nyoman memperoleh tanah untuk jalan masuk ke kompleks GWK yang lebih besar dan hubungan persaudaraan terjalin lebih erat. Uang tidak selamanya menyelesaikan masalah, tapi diantara teman dan saudara selalu ada keistimewaan.

Kesulitan biaya adalah hambatan utama. Anda boleh percaya bahwa seorang Nyoman Nuarta sering mengalami krisis keuangan. Propertynya banyak tersebar dimana-mana, tetapi ia tidak bermaksud mengangkanginya untuk diri sendiri. Ia berusaha menyelamatkannya untuk kepentingan masyarakat luas. Kepada siapakah GWK ia dedikasikan kalau bukan untuk bangsa ini? Galerry seninya di Bandung yang luas dan asri itu bisa dikunjungi dengan gratis oleh semua orang. Lalu darimana dia memperoleh uang untuk memelihara semua itu? Juga untuk menggaji pegawai?

Maka tidak heran bahwa proyek GWK saat ini masih jauh dari selesai dan disusun disain sementara (GWK Expo) agar tetap bisa dimanfaatkan dan dijadikan obyek wisata di Bali. Keadaannya saat ini bisa dilihat dari foto-foto di bawah ini.

[caption id="attachment_88596" align="aligncenter" width="500" caption="Kepala Wisnu yang sudah jadi (+/- 23 m)"][/caption] [caption id="attachment_88597" align="aligncenter" width="300" caption="Tangan Wisnu yang sudah jadi."][/caption] [caption id="attachment_88598" align="aligncenter" width="500" caption="Kepala Garuda yang sudah jadi, diletakkan di Plaza Garuda."][/caption] Bukit Cadas yang dipangkas di sekeliling lokasi

Pada awal menyusun rencana tersebut, Nyoman jelas optimis bisa mewujudkan rencananya, karena ia didukung sepenuhnya oleh Presiden Soeharto dan keluarganya serta banyak lagi organisasi maupun rekan-rekan pribadi yang mendukungnya. Dengan dukungan partisipasi aktif dari kalangan “orang kuat” tersebut, tidak sulit untuk mempercayai bahwa proyek tersebut akan bisa segera selesai.

Kebetulan pada tahun 1997 tersebut penulis memiliki sebuah rumah yang merupakan tetangga dari kompleks Nyoman Nuarta di Bandung, sehingga tahu semua kesibukan di bengkelnya yang sedang mempersiapkan pembangunan GWK tersebut. Penulis juga tahu bagaimana bagian-bagian potongan disain yang sudah siap kemudian dikemas dan diangkut dengan truk trailer ke Bali. Lebih jauh lagi Penulis juga mengalami saat kepala patung yang hampir jadi tiba-tiba terbakar hebat di bengkel tersebut dan apinya menjulang tinggi sekali. Sebagian apinya terbang dan jatuh di halaman rumah Penulis. Penulis suka bermain di kompleks tersebut karena juga pengagum seni dan menyukai (untuk melihat) semua pekerjaan seni. Tetapi dengan datangnya krismon dan lengsernya Presiden Soeharto, tentu saja cerita menjadi lain sama sekali.

Pertanyaannya sekarang: Mungkinkah GWK akan bisa selesai setelah bertahun-tahun stagnan? Untuk itu, marilah kita dengar jawaban dari Nyoman Nuarta sendiri berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah penulis susun dengan cukup lengkap dan detail mengenai berbagai masalah seputar GWK tersebut. Nyoman Nuarta akan bercerita selengkapnya, termasuk yang terlewat dari pertanyaan penulis, pertama kali khusus untuk anda semua warga Kompasiana.

Silakan menyimak wawancara ekslusif antara Penulis dan Nyoman Nuarta yang berlangsung hangat di Galerry Nyoman Nuarta Bandung selama 2 jam lebih pada tanggal 18 Februari yang baru lalu. Wawancara ini saya pisahkan tersendiri dan hari ini juga akan saya muat agar tidak terlalu panjang dalam satu tulisan.

Selamat menyimak dan saya yakin pasti banyak manfaatnya untuk kita semua. Salam.

**************

 Link terkait dengan tulisan ini:

1. Galerry Seni Nyoman Nuarta - Bandung:

http://wisata.kompasiana.com/2010/01/24/galerry-seni-nyoman-nuarta-bandung/

2. Wawancara dengan Nyoman Nuarta Seputar Garuda Wisnu Kencana Bali:

http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/08/wawancara-dengan-nyoman-nuarta-seputar-garuda-wisnu-kencana-bali/

 

3. Berbincang-bincang dengan Nyoman Nuarta:

http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/08/berbincang-bincang-dengan-nyoman-nuarta/

 

*****************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun