Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Rumah Sehat Kompasiana

9 Desember 2009   06:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Semua orang butuh rumah sehat. Kalau saya (arsitek) ditanya apa itu rumah sehat, maka saya akan jawab sbb:

1.      Cukup kuat strukturnya sehingga tidak roboh diterpa angin kencang, gempa, dan tidak di lokasi banjir.

2.      Punya cukup jendela untuk pergantian udara dan menerima cahaya matahari sehingga tidak sumpek dan gelap serta hemat energi listrik (siang tak perlu lampu).

3.      Pengaturan ruang-ruangnya (organisasi ruang) enak. Artinya: ada kelompok ruang tidur dengan kamar mandi/wc yang cukup berdekatan, ruang keluarga (boleh gabung dengan ruang makan) untuk kumpul bareng (nonton TV, makan, nyamil, ngobrol, dan kegiatan santai lainnya). Kemudian ada “car-port” atau garasi untuk menyimpan mobil atau motor dan sepeda agar jangan mobilnya diparkir di tepi jalan “sak enak udele dewe”. Boleh ditambah ruang tamu kalau masih cukup lahannya, kalau tidak ya cukup disediakan teras kecil di depan rumah yang cukup untuk ngobrol 2-3 orang. Tidak perlu terlalu banyak sekat yang tidak penting, bikin sumpek saja dan ketahuan kalau kita itu introvert banget.

4.      Punya ruang-ruang servis seperti: dapur, ruang cuci, tempat jemur, ruang tidur pembantu, dan kalau bisa ada gudang juga.

5.      Kalau masih mampu ya punya ruang-ruang ekstra, entah itu ruang fitness, ruang baca / ruang kerja dengan perpustakaan pribadi, ruang musik yang kedap suara supaya tak berisik, dll ruang untuk hobi.

6.      Punya sedikit taman dan halaman (biasanya di belakang) yang asri, syukur-syukur kalau tamannya gede banget ditambah lapangan-lapangan olah raga sekalian sehingga semua anak-anak yang mau main basketpun punya halaman tersendiri. Bolehlah anak-anak membawa semua teman-temannya untuk ngocol bareng di tempat tersebut. Silakan main dan teriak-teriak sesukanya, pasti babe yang lagi serius baca buku di ruang baca tak terganggu. Sekali-kali babe/nyak perlu nengok anak-anaknya yang lagi ramai ngocol, jangan-jangan ngocolnya ngaco dan jorok.

 

Nah, begitu kurang lebih definisi rumah sehat menurut Arsitek. Kalau menurut sutradara film lain lagi. Coba saja lihat film “Sound of Music” itu. Kisah seorang Bapak yang punya 7 anak manis dan badung, dari kecil sampai remaja yang mulai pacaran. Karena bapaknya Kapten, ya jelas segalanya mesti bergaya militer dan penuh aturan jelimet. Ngumpulin anak untuk makanpun perlu pakai sumpritan: pritttt…., kumpul semua, baris yang rapi urut dari yang kecil sampai yang besar, jelaskan identitas dan kondisi, dsb-dsb, barulah semua bergerak rapi menuju ruang makan. Di ruang makan? He..he..he.., jangan harap bisa menyentuh makanan seenaknya mirip gaya monyet … (isi nama sendiri deh, boleh nyontek gaya ngocoleria). Semua harus duduk dulu yang rapi, pakai serbet di pangkuan dan posisi ningrat. Tak ada yang menyentuh sendok, apalagi piring, sebelum bapaknya mengijinkan! Bisa-bisa mata Sang Kapten yang sudah duda ditinggal mati istri itu melotot dan mulutnya menyembur amarah. Setelah bapaknya mempersilakan baru boleh ambil makanan, itupun jangan bergaya orang yang belum makan seharian, harus sangat sopan dan taksim. Ngunyah makananpun jangan sembarangan, jangan kampungan!

 

Setelah semua ritual Sang Kapten selesai dan dia pamit pergi, tinggallah dunia sang anak. Lain bapak lain anak. Mulailah datang “kebebasan” yang didambakan sang anak: buku pelajaran dilempar, kasur dipakai mainan “trampoline” (itu yang diinjak lompat – injak lompat) dan semua bersorak-sorai riang gembira, bodo amat segala aturan! Eh… tiba-tiba Bapaknya balik lagi bersama calon permaisuri baru yang akan dikenalkan pada anak-anaknya, rasain lu! Kontan mata bapaknya melotot hampir copot dari kelopaknya, semua kena damprat, termasuk pengasuh anaknya. Konon sudah puluhan pengasuh anak datang dan minggat lagi dari rumah tersebut, termasuk yang kena damprat itu akhirnya minggat juga. Sang calon permaisuri berlagak sok bijaksana menenangkan situasi, belum tahu dia…

 

Setelah reda marahnya, Sang Kapten terpekur dihibur calonnya. Akhirnya ditulisnyalah surat kepada Pimpinan Biarawati di desa tersebut, minta tolong dicarikan pengasuh anak. Dia pikir kalau yang memilih seorang biarawati pasti serba sippp, paling tidak pasti alim gitu. Sang kepala biarawati kebetulan punya calon suster yang namanya Inge, bandelnya setengah mati tapi sebenarnya kreatif dan baik. Kepala biarawati yang bijaksana itu sudah lama mikir: “Kalau orang macam Inge ini mau jadi suster, weleh…, bisa ancur seisi susteran gue.” Kebetulan ini ada “job” asik dari Kapten yang cocok banget buat si Inge. Maka dipanggillah si Inge menghadap dan dijelaskan maksudnya. So pasti si Inge kaget bukan kepalang: “Mau jadi suster kok disuruh jadi pengasuh anak, buset…!” Karena yang menyuruh junjungannya yang sangat dihormati, dipercaya, disayangi, maka ia akhirnya menurut saja.

 

Singkat cerita, dengan menenteng gitar dan PD banget ia mendatangi rumah Sang Kapten. Begitu masuk rumah matanya jelalatan menjelajah seisi ruang yang luar biasa mewah dan gedenya itu. Dasar si Inge kurang ajar dan sembarangan, ia berani nyasar ke ruang perpustakaan Sang Kapten dan ngulak-ngulik yang bukan haknya. Ketika “brakkk…!” pintu ruang dibuka keras dan muncul Sang Kapten, kaget bukan kepalang si Inge. Sang Kapten tak kalah kagetnya: “Betapa kurang ajarnya ini anak, apa bener ini kiriman dari kepala biarawati?” Karena ingat status kepala biarawati itulah hatinya masih bisa sabar. Tapi tetap saja si Inge didamprat dan disuruh keluar serta diberi peringatan untuk tidak masuk ruang pribadinya secara sembarangan.

 

Inge akhirnya dikenalkan kepada anak-anak Sang Kapten. Ia jelas dikerjain anak-anak bengal tersebut, saku bajunya diam-diam dimasukin kodok hidup. Tapi Inge yang sedang terperangah menyaksikan bagaimana caranya sang Kapten memanggil anak-anaknya dengan sumpritan tak menyadari hal itu. Ia marah besar dalam hati: “Masak orang, apalagi anak sendiri, dipanggil pakai sumpritan?! Dasar gelo tuh.. Kapten!” Setelah acara perkenalan selesai dan si Inge dapat sumpritan dari Kapten lengkap dengan kode-kodenya untuk memanggil masing-masing anak di rumah segede itu, sang Kaptenpun beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah, ia kena sumprit si Inge. Dasar si Inge, benar-benar kurang ajar ini anak, masak Kapten disumprit, ya jelas matanya melotot! Lebih gilanya, si Inge malahan tanya “kode bunyi sumpritan” untuk memanggil Sang Kapten! Kontan Sang Kapten tak bisa omong saking geregetannya. Sambil mengatur napas agar dadanya tidak meledak, Sang Kapten akhirnya menjawab: “Panggil saya Pak Kapten!” Lalu Kapten ngeloyor pergi. Inge bersorak dalam hati penuh kemenangan: “Rasain, Lu..!” Ia kemudian mulai berdialog dengan anak-anak yang sebenarnya jahil-jahil itu. Mereka berkenalan kembali dengan sangat manis.

 

Ketika saat makan tiba dan Sang kapten mau mengangkat sendok untuk memberi kode bahwa anak-anak yang lain sudah boleh mulai makan, eh…, lagi-lagi si Inge bikin ulah. Ia menghentikan gerakan Sang Kapten dengan mengajak semuanya berdoa dahulu sebelum makan. Kali ini Sang Kapten kembali mati kutu dan menurut. Mereka berdoa bersama sebelum makan. Selesai berdoa, kodok di saku si Inge nongol keluar dari sakunya. Kontan si Inge menjerit kaget dan si Kapten mikir: “Ini anak mungkin bener-bener gelo!” Tapi ia masih diam saja dan ingin melihat lebih jauh di kemudian hari: “Kalau memang gelo beneran pasti gue pecat!” begitu pikirnya. Sementara itu para anak sang Kapten cekikikan sambil ditahan-tahan karena takut didamprat bapaknya. Ada aturan tak tertulis: “Di ruang makan jangan celelekan!” Mereka tahu apa yang terjadi dengan si Inge. Tapi dasar hati si Inge memang sebenarnya “bageur” (baik gitu), ia melindungi anak-anak tersebut dari semprotan bapaknya dengan berpura-pura tak terjadi apa-apa, padahal sebenarnya hatinya mengkirik sama sang kodok. Belakangan baru ia tahu dari Koki rumah, bahwa ia masih beruntung hanya kodok yang dimasukkan ke sakunya, pengasuh anak yang lain ada yang menerima ular di sakunya….hiiii….

 

Begitulah si Inge mulai jadi pengasuh para anak bengal tersebut. Dan sungguh beruntung si Inge memang mbahnya bengal. Ia ladeni semua anak bengal itu dengan tak kalah bengalnya. Bengal ketemu bengal, cocok dan klop buanget…, sampai-sampai para anak-anak itu kaget sendiri dan tak menyangka bahwa pengasuhnya kali ini tak kalah “hebat” dari mereka sendiri. Merekapun akhirnya menerima Inge seratus persen sebagai pengasuh yang amat didambakan selama ini. Inge yang pada dasarnya kreatif itu juga mulai mengajak anak-anak untuk bernyanyi dengan gitarnya. Lagu-lagunya? Wow…, jangan ditanya, ga ada itu lagunya Broery atau Christine Panjaitan yang mendayu-dayu dan lebay, semua lagunya “jrenggg…” bikin orang segala usia menikmati musik surga yang amat indah. Tak terkecuali para anak bengal tersebut, semua tersihir dengan nyanyian yang luar biasa indahnya. Inge telah mengembalikan musik dan kegembiraan hidup di rumah Sang Kapten yang besar dan angkuh itu. Sang Kapten yang semula tak bisa menerima kehadiran aliran “brengsek” yang dimotori Inge akhirnya berubah pikiran. Ia mulai menanyakan “jati dirinya” sendiri dan akhirnya dengan “gentleman” harus mengakui, bahwa ia telah banyak kehilangan “warna-warna” lain yang ternyata tidak semuanya “buruk” seperti dalam bayangannya semula. Ia bahkan menemukan kembali “banyak hal yang telah lama hilang dalam hidupnya, seperti musik yang dahulu sangat disukainya itu, yang penuh dinamika, yang punya tenaga magis amat dahsyat untuk menundukkan kebengalan anak-anaknya.” Dan celakanya, ia merasa mulai jatuh cinta dengan Inge! Dasar dudul! Katanya dalam hati, mana mungkin dia yang “super” itu jatuh cinta kepada Inge yang hanya… pengasuh anak-anaknya? Oaalahh…, nggak mungkin itu, amat nggak mungkin, nggakkk mungkin…mungkin… kin..kinn…kinnnn!!! (belakangan malahan dia hanya mendengar gaung terakhir suaranya yang bilang: “mungkin…kinnn…kinnn…!”)

 

Waduhh…, kasihan tuh Sang Kapten, hatinya merana banget, apalagi dia sudah telanjur mendamprat Inge dan mengusirnya dari rumah gara-gara semua anaknya diajak Inge main sampan di sungai kotor dan akhirnya sampannya tengkurap karena tak bisa mengimbangi gerakan orang banyak di dalamnya. Dasar Inge dudul…, kerjanya bikin kacau wae…, tapi sialnya kok dia bisa mengasuh anak-anak saya sampai seperti itu! Apa boleh buat, Inge telanjur tersinggung dan sudah menata koper mau pulang ke susteran meskipun hatinya berat nian meninggalkan anak-anak Sang Kapten yang sekarang sudah menjadi anak-anaknya sendiri. Inge juga mulai takut sendiri, karena ternyata secara tidak disadarinya iapun ternyata sudah jatuh cinta pada Sang Kapten yang sudah punya calon permaisuri baru! Benar-benar pabaliut, kata Pak Pray! Ohh..nasib, mesti pegimana ini? Tauk ahh…, minggat dulu! Begitu keputusan “sementara” Inge yang lagi bingung, dongkol, tak tahu mesti bilang apa lagi. Ia bukannya tidak tahu kalau Sang Kaptenpun sebenarnya naksir dia, tapi permaisurinya yang baru itu mau dikemanain? Apa sekaligus mau dikawinin dua-duanya? Ogahhhh….!!! Teriaknya dalam hati. Ia benci banget poligami. Semua perempuan amat benci poligami tapi sering tak berdaya. Laki-laki dilawan!, apalagi laki-laki yang sedang memeti!  Weleh…, pikirannya ngelantur!

 

Inge akhirnya benar-benar pergi secara diam-diam dari rumah Sang Kapten. Ia tak tega berpamitan dengan anak-anak Sang Kapten, juga tak mau bertatapan dengan mata Sang Kapten yang kemarin sudah minta maaf dan melarangnya untuk pergi. Ia tak mau mengganggu rencana Sang Kapten untuk mempersunting permaisurinya yang baru. Tapi calon permaisurinya itu juga seorang perempuan dan bukan patung Trowulan. Dan bukan perempuan namanya kalau perasaannya tumpul. Ia juga melihat gelagat yang tak beres antara Inge dan Kapten. “Sudah jelas ada apa-apanya, tak perlu ngundang Intelijen untuk menyelidikinya, sudah gamblang terang kalau ada benang merah antara Inge dan Kapten!” Begitu pikirnya sedikit sewot. Tapi ia ternyata masih masuk kelas sebagai perempuan tahu diri dan bukan perempuan kemaruk harta atau jabatan. Dengan bijaknya ia mengatakan apa adanya kepada Sang Kapten dan menyuruhnya untuk meneruskan “benang merah” antara dia dan Inge. Kapten menerimanya dengan rasa terima kasih yang amat besar. Mereka berdua putus hubungan dengan baik-baik dan tetap menjadi sahabat baik.

 

Sementara itu anak-anak Sang Kapten sudah menghambur lebih dahulu untuk mencari Inge di Susteran. Di dalam Susteran itu kepala biarawati yang bijak menolak niat Inge yang mau minta ditahbiskan menjadi Suster. “Suster bukan pelarian” katanya dengan amat meyakinkan. Nasehatnya itu seharusnya menempel di kuping semua orang, bahwa bukan dengan melarikan diri dari persoalan kalau mau jadi orang, tapi menghadapi setiap persoalan dengan tenang dan baik. Dan ternyata Inge yang dudul dan lagi bingung itu cuma bisa menangis dan menangis di hadapan kepala biarawati. Sang kepala biarawati yang bijak itu menyanyikan satu lagu yang amat memukau: “Climb Every Mountain” yang liriknya memiriskan hati itu.

 

Climb every mountain / Dakilah setiap gunung

Ford every stream / Jelajahi semua arus

Follow every rainbow / Ikuti semua pelangi

Till you find your dream / Sampai kau temukan impianmu

 

Setelah berjam-jam curhat menumpahkan semua isi hatinya, Inge akhirnya menuruti nasehat kepala biarawati untuk membatalkan niatnya menjadi Suster. Ia diminta kembali ke keluarga Sang Kapten, setidaknya untuk tetap mengurus anak-anak Sang Kapten, karena disanalah tempatnya dan bukan di Susteran. Ia tidak tahu bahwa anak-anak Sang Kapten telah bersusah payah menemuinya di Susteran dan disuruh pulang kembali oleh suster yang lainnya karena dikatakan bahwa dia sedang dalam ruang pengasingan dan tak bisa diganggu.

 

Begitulah ceritanya, sehingga akhirnya Inge kembali ke rumah Sang Kapten dan tentu saja disambut penuh suka-cita oleh semua anak-anak Sang Kapten. Sang Kapten akhirnya menikahi Inge yang tentu saja didukung penuh oleh semua anak-anaknya dan pihak Susteran. Mereka membentuk keluarga yang bertabur cinta dan kebahagiaan meskipun pada akhirnya harus meninggalkan rumahnya yang besar karena dikejar-kejar tentara Nazi.

 

Jadi, apa itu rumah sehat? Apa gunanya rumah gedung besar dan megah kalau tak ada cinta di dalamnya? Apa gunanya semua fasilitas yang ada kalau antar anggota keluarga serumah tidak pernah ada kecocokan dan tidak saling menunjang satu sama lain? Bahwasanya di setiap rumah pasti ada kemelut, siapa yang tidak mengakui hal itu? Tetapi kalau setiap individu di rumah punya ego yang kelewatan  dan selalu ingin menang sendiri, apa pula jadinya? Neraka dan Surga memang sungguh tidak jauh tempatnya, bahkan sumbernya dari dalam hati sendiri, yang bisa memancar keluar untuk membakar atau menyejukkan. Semoga tidak ada diantara kita yang memposisikan diri sebagai “yang membakar” dan punya kerendahan hati untuk setidaknya berusaha menjadi “yang menyejukkan”. Di dalam suasana yang sejuk, penuh cinta dan pengertian, barulah sebuah rumah sehat bisa dibangun dan melahirkan karya-karya besar dari dalamnya. Salam.

 

*************

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun