Reported by Sirun Muyassirun 6:30 Tikum Cluster Napoleon Legenda Wisata Selepas shubuh, Sabtu 3 January 2015, langit tampak cerah walau beberapa hari sebelumnya hujan mengguyur ringan di beberapa bagian Jakarta. Mengawali tahun 2015 ini, Muslim Adventure Group (MAG) mempererat silaturohim dan persaudaraannya dengan agenda GoBar ke Gua Situlang, Cibuntu lanjut ke Cioray. Track yang menjanjikan kepuasan berpetualang sepeda dengan medan bahenol turun naik yang aduhai menantang muterin kaki gunung Sijebu. Nanjak lalu merosot panjaaaaaaangg… offroad gurih deh pokoknya, janji om Boni Sibon selaku amir perjalanan, RC GoBar kali ini. Pokoknya kita gowes haha-hihi aja deh tambah om admin. Tikum seperti biasa di Legenda Wisata cluster Napoleon rumah pa Anto. Tempat yang paling pas secara lokasinya aman, nyaman, tentram dan sejahtera karena selalu dijamu makanan. Dan yang penting adalah parkiran yang luas. Kumpul 6:30, telat tinggal, ancam om Dhany admin MAG. Jam 6 lebih dikit saya tiba bersama om Bayu yang disambut pa Anto dan om Dhany dengan senyum sumringah ciri khasnya. Menyusul kemudian om Tono, om Uus, om Akbar dan om-om lainnya. Jamuan berupa teh manis hangat dan berbagai macam jajanan telah disiapkan. Ditambah lagi mang bubur yang lewat diminta untuk singgah ikut menjamu para goweser. Jazakallohu khoiron pa Anto. Alhamdulillaah GoBar MAG kali ini sungguh special dimana beberapa dedengkot dan saudara dari tetangga sebelah ikut memeriahkan: Eyang Mudjiono FR, om Harry FR, om Dedi FR, om Ade Pramudya Bobico/FR, om Desnial KGM, om Fadil Aziz KGM, om Fadillah Ramadhan KGM, om Hendrik Abu Ilyas, dan om Suwardiono. Sebagian mempersiapkan tunggangan masing-masing, sebagian ada yang taaruf,sebagian lagi menikmati teh panas serta bubur ayam traktiran pa Anto. Dengan total keragaman peserta 28 orang, trip kali ini terasa begitu komplit dan membuat percaya diri. 8:00 Take Off – Tanjakan Batu Kapur Ternyata ada dua anggota MAG yang confirm untuk tidak ikut GoBar juga hadir di tikum. Om Amril yang jadi suami siaga menunggu kelahiran anaknya dan om Dinar yang ada acara keluarga. Berat hati mereka melepas kepergian kami dengan wajah mupeng. Namun setidaknya mereka bisa ikut narsis saat foto keluarga di depan gerbang Napoleon.
Bismillaah, om Boni yang ternyata cedera lutut memimpin 28 jamaah meluncur menuju arah belakang Legenda Wisata. Sebelum tiba di pintu belakang perumahan, jamaah sempat terhenti karena water bladder om Boni ngocor membasahi isi tas. Sebagian air diselamatkan om Aziz dan ditampung di dalam botolnya. Yaa… selalu ada hikmah dibalik musibah. Dan hikmah kali ini menjadi milik om Aziz, hehe… Belum meninggalkan Cibubur, jamaah kembali terhenti beberapa saat karena sebagian singgah di Alfamart melengkapi perbekalan. Tampak om Boni gelisah mempertimbangkan waktu.
Saat perjalanan berlanjut dan baru mencapai jalan aspal pertigaan jalan raya Narogong – desa Cibeureum, lagi-lagi jamaah terhenti. Kali ini tunggangan om Desnial putus rantai. Setelah cukup lama menunggu, rombongan bergerak kembali. Meninggalkan jalan aspal, kami melewati kawasan pedesaan desa Cibeureum. Bergerak melewati sela-sela rumah penduduk, lalu memasuki tanah lapang luas dibawah jalur sutet dengan kebun sawit dan ilalang di sekelilingnya. Selepas tanah merah lapang itu, kami memasuki jalan pengerasan beton tipis yang mulai rusak dengan pemandangan sawah menghampar luas di kiri dan kanannya. Gunung Sijebu telah Nampak jelas di depan mata. Melewati beberapa rumah penduduk, kami dihadapkan pada tanjakan pertama menuju kaki gunung. Tidak terlalu mancung namun cukup panjang dan menjadi pemanasan untuk tanjakan berikutnya. Di tanjakan pertama ini ustad Danil menjadi yang terdepan sedangkan om Boni ngangon goweser lain dari belakang.
Saat itu saya baru memperhatikan kalau Eyang Mudjiono kelihatan sangat fit di usianya yang memasuki 67 tahun. Tampak dari cara beliau melibas tanjakan pertama ini dengan tanpa kesulitan. Kalau pas lagi jalan beriringan dengan goweser lain, dari belakang tidak akan ketahuan kalau beliau sudah memasuki usia senja. Apalagi saat mendengar music dangdut “Sakitnya tuh di sini” yang beliau putar sesaat di jalan. Upss….! Di ujung tanjakan ini om Desnial dan om admin sangat menikmati “berleyeh-leyeh” lumayan lama menunggu yang lain naik sambil berbaring memandang birunya langit. Ternyata di bawah sana ada insiden ganti ban dalam, om …….
Selepas itu jamaah kemudian di-regroup di pertigaan ujung jalan beton, jalan turunan dan tanjakan batu kapur. Om Harry dan para penikmat perosotan memberikan voting untuk mengambil jalan turunan walau tak diminta. Sementara om Boni, om Aziz dan pengasah dengkul tentu memilih tanjakan yang sejalan dengan rute yg telah direncanakan. Adapun yang abstain memilih untuk taat pada amir perjalanan. Baru akan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari arah turunan macadam muncul petani paruh baya nanjak dengan sepeda BMX United single speed melintas di depan kami. Kami sapa, beliau tersenyum sambil terus gowes dengan santainya menuju jalan beton yang tadi kami lewati. Semangat teman-teman langsung terpecut tak mau kalah dengan si bapak. “Sudah fullsus, 30 speed, gir mega-range, masak kalah sama single speed,” beberapa goweser saling singgung memberi semangat. Para goweser lalu bergerak serempak mengambil tunggangan masing-masing mengambil jalan menanjak melindas batu kapur mengikuti om Boni. Tanjakannya agak panjang, curam dan berkelok-kelok. Batu kapur kecil-kecil bergerak-gerak lepas terlindas ban sepanjang tanjakan. Ini membuat kestabilan sepeda sulit terjaga karena ban yang slip hingga menguras banyak tenaga. Semua berhasil melewati kelokan pertama, kedua, ketiga walau diselingi TTB sambil tarik nafas yang mulai ngos-ngosan.
Di sini tanjakan demi tanjakan mulai terasa menyiksa lahir batin karena disetiap kelokan kami berharap ada turunan namun yang kami temui justru tanjakan lagi dan lagi… Setelah kurang lebih 500m di kelokan ke sekian om Boni, om Aziz, om Ade, om Dedi dan beberapa goweser berhenti menuggu yang lain. Alhamdulillah… kami bisa mengistirahatkan betis yang mulai nyut-nyutan sambil nyari nafas yang hilang. Lapar dan haus mulai menyerang seiring terik matahari yang mulai terasa panas di kulit. Masing-masing lalu mengeluarkan dan membagi perbekalannya. “Air minumnya di hemat ya…”, om Aziz mengingatkan. Belum hilang rasa lelah, eyang Mudjiono yang sudah melibas tanjakan dengan entengnya tiba-tiba berbalik arah meluncur turun. Kami semua kaget dan berdecak kagum. Mungkin belum terasa marem, jadi ngulang tanjakan lagi, batin kami. Atau mungkin untuk memberi pecut semangat bagi goweser muda yang hampir putus asa. “Tas ketinggalan di bawah…!” seru eyang meluncur menjawab pertanyaan kami. Ah, eyang bisa aja membuat scenario bijak agar tidak menyinggung perasaan anak2 MAG. Teope dah…!
Setelah semua berkumpul, perjalanan dilanjutkan kembali. Tetap menanjak namun kali ini kami dimanjakan dengan selingan turunan yang sedikit membuai. Turunan pendek namun terasa sangat nikmat setelah sebelumnya disiksa tanjakan bertubi-tubi. Sampai2 om Faizal dan om Desnial bablas terus turun sementara yang lain berbelok ke kiri. Akhirnya dengan penuh tanggung jawab sebagai marshal om Aziz yang walau saat itu kondisinya kurang sehat menyusul, mengejar ke bawah. Om Boni membantu dengan membunyikan peluit. Momen menunggu om Aziz kami gunakan untuk rehat lagi di bawah pohon. Di depan kami ada jalan bercabang. Yang kanan menanjak curam sedangkan yang kiri cenderung datar. Kembali jamaah terpecah menjadi dua kubu. Ashabul yamin wa ashabul syimal. Golongan kanan dan golongan kiri. “Assiruu wa la tu’assir!” seru om Raafi berusaha menguatkan dukungan untuk om Harry yang merajuk untuk mengambil jalan sebelah kiri yang datar. Alhamdulillah keimanan om Boni dan rekan yang lain masih kuat dan tetap memilih jalan sebelah kanan, tanjakan curam sesuai rute awal. Hehe…
Beberapa wajah sudah menampakkan kelelahan. Bertambah kusut karena ternyata di depan tanjakan batu kapur sudah menanti. Kami meluncur melibas tanjakan dengan sisa tenaga yang hampir drop. Hanya celoteh dan banyolan teman-teman yang sedikit membuat suasana tetap ceria. Selepas itu jalanan sedikit datar namun berbecek dengan genangan air di sana sini. Sepeda jadi berasa tambah berat di kayuh. Dengkul memanas, betis membengkak, nafas ngos-ngosan mengiringi setiap kayuhan. Memasuki wilayah Cibuntu dekat area pengeboman semen Holcim, kami kembali beristirahat sejenak sambil membuka perbekalan masing-masing. Beberapa goweser latihan sabar kehabisan air minum. Sisa air yang ada dibagi seteguk-seteguk. Di sini Om Aziz membantu om Tono yang mengganti ban dalam belakang karena katanya bocor alus. “Ini kok Allahu Akbar terus ya? Kapan Subhanalloh-nya?” seru om Fadil Aziz. Ya… beliau mengingatkan kami bahwa adalah sunnah Rosululloh ketika melewati jalan menanjak untuk membaca Allahu Akbar, dan ketika melewati jalan menurun mengucapkan Subhanallah. Dan sedari tadi memang kita nanjak dan nanjak terus… Alhamdulillaah ‘ala kulli haal…
11:00 Goa Situlang - Pohon Kelapa – Warung Pertama Posisi kami saat ini berada di tengah hutan jauh dari peradaban manusia. Setelah nafas mulai kembali normal, kekuatan mulai terkumpul, kamipun bergerak kembali menyusuri jalan setapak becek, berair, licin yang lumayan panjang. Genjotan sepeda berusaha kami nikmati, tidak kencang dan tidak pula lambat melewati sela-sela pohon kecil yang lumayan rindang. Eh, tolong dicatat… tetap nanjak lagi ya. Nanjaaak… datar.. nanjaaaaak…. datar.. nanjaaaaaaaaakkk… Sungguh kombinasi yang tak seimbang. Saat itu kami mencari-cari arti keadilan… Konsentrasi bergelut dengan tanjakan, tak sadar ternyata kami sudah tiba di lokasi Gua Situlang. Ustad Danil, om Boni dan saya menuruni lereng bukit untuk bisa mencapai mulut goa. Goa yang terbentuk dari batu kapur yang besar menjorok kedalam kurang lebih hanya 7 meter. Sementara goweser yang lain menepi dan hanya duduk-duduk istirahat melihat kami dari jauh. Sepertinya hasrat mereka untuk mengunjungi Gua Situlang yang menjadi tema GoBar kali ini telah pupus. Hilang ditelan rute yang teramat mancung. Beberapa goweser menggurutu bahwa sepertinya kita telah salah rute dan salah waktu. Dan itu diaminkan dengan munculnya beberapa motor trail dari arah belakang. Suara mesinnya meraung-raung seolah-olah ingin mempertegas bahwa ini jalan mereka, rute mereka dan hanya untuk mereka. Dan kembali yang dibully adalah om Boni, walau hanya candaan. Untuk menghibur diri dan sebagai bukti bahwa “we were here”, kami mengambil foto keluarga dengan latar belakang gua Situlang dari jauh. Dalam foto om Boni tampak sedikit menjauh. Mungkin jaga-jaga seandainya ada amuk massa, hehe…
Perjalan selanjutnya ternyata tak kalah seram. Jejak motor-motor trail yang tadi lewat membuat jalanan semakin becek. Kami terpecah menjadi beberapa group kecil. Om Boni dan beberapa goweser lebih dulu di depan. Saya, om Bayu, om Faisal, om Aziz, om Tono, Eyang Mudjiono, om Dedi bergerak beriringan. Beberapa ratus meter kami bergerak maju, di depan kami terpampang dengan jelas tanah merah yang sudah tercabik-cabik. Lengket dan liat seperti sambel pecel. Kami tertegun berhenti sejenak untuk mencari-cari jalan alternatif. Namun ternyata ini satu-satunya jalan. Saat itu air minum kami sudah benar-benar ludes habis sampai tetes terakhir. Di tengah hutan, tak ada sungai, tak ada rumah penduduk, tak ada sinyal, apalagi Alfamart. Tak mau larut dalam ketidakpastian, Eyang mudjiono dengan santai maju menuntun sepedanya. Ban hitamnya tak lagi terlihat. Eyang seperti sedang menggiring dua donat raksasa. Selanjutnya om Dedi maju sambil memanggul sepeda di punggungnya. Mungkin karena sayang dengan ban sepedanya. “Di atas ada rumah penduduk, kita bisa minta air di sana,” info om Aziz. Dengan senang hati kami TTB berjamaah berharap segera menemukan air. Dan benar, tak jauh dari situ kami melihat satu rumah kayu di sisi kanan jalan. Beberapa goweser sudah tampak berbaring melepas lelah di bale-bale depan rumah di samping kandang kambing. Satu teko besar, dua teko kecil dan tiga gelas kaca sudah kelihatan hampir kosong. Alhamdulillah ternyata bapak tuan rumah masih punya persediaan air minum lain. Tapi ini yang terakhir katanya. Kamipun membagi minum hingga habis dan lupa kalau masih ada rombongan lain di belakang kami.
Bapak tadi menginfokan kalau di atas, yang berarti kami harus nanjak lagi, ada warung kelontong. Gak jauh katanya. Cepat-cepat kami berlomba menuju warung itu. Ternyata di situ sudah ada om Dedi, Eyang, om Ade dan yang lain sudah beristirahat menikmati the manis panas. Toko kelontong dengan jualan seadanya itu kelihatan seperti mall besar bagi kami saking senangnya. Hampir serempak mata kami tertuju pada mie instan. Kamipun memesan 15 bungkus untuk dimasak menjadi satu buat makan berjamaah. Tak lupa kami meminta nasi. Ya, Indomie dan nasi perpaduan yang tidak pernah ada di saran penyajian namun paling popular bagi seluruh rakyat Indonesia. Saya sendiri menghabiskan semangkuk mie instan nasi itu. Selain itu ternyata om Suwardiyono juga sempat menenggak bodrex meredakan nyut-nyut yg menyerang. Setelah itu bergantian kami sholat berjamaah di musholla kecil yang terbuat dari kayu sambil menunggu rombongan yang lain.
Sementara itu (Sesuai penuturan om Raafi, om Dhany, dll) … Rombongan di belakang kami, pak Anto, ustad Danil, om Raafi, om Akbar, om Iko, om Ali, om Harry, om Desnial, om Wahyu dan om Chairul baru tiba di rumah penduduk tempat kami menghabiskan air minum tadi. Om Dhany lalu meminta ijin si bapak untuk istirahat sambil mengeluh, “Air… air…” Mereka merasa seperti orang yang teraniaya saat menjumpai hanya tersisa satu teko kecil air yang tentu tidak bisa memuaskan dahaga mereka. Qodarulloh om Harry seolah-olah mendapat ilham ketika tiba-tiba berkata, “eh… ada kelapa tuh!”. Tanpa berpikir panjang om Raafi langsung bertanya apakah kelapanya bisa mereka minum, yang langsung dijawab boleh oleh si bapak. Rasa syukur menyelimuti mereka dengan diijabahnya keinginan mereka untuk melepas dahaga. Ustad Danil menghampiri om Dhany seraya berkata, “Dhan… dhan… masih sadar? Ada kelapa mudah nih, mau nggak?” Om Harry lalu memberi isyarat untuk menanyakan harga kelapanya. Om Raafi kembali tampil sebagai juru bicara menanyakan harga sebiji. “Terserah… dikasih duit boleh, tidak juga gak apa-apa,” Maa syaa Allah… betapa si bapak penduduk desa yang sederhana dan jauh dari kata kaya itu tidak berharap sesuatupun melainkan hanya membantu para goweser yang kesusahan. Maka benarlah ungkapan yang mengatakan bahwa orang miskin biasanya lebih sering dan pandai berbagi. Haadzaa min fadli Robbinaa. Om Desnial berinisiatif ingin menghitung jumlah goweser untuk dipetikkan kelapa, namun dengan sigap om Dhany berseru, “Udah… nggak usah dihitung, yang bisa diminum turunin aja semuanya” Yang tentu saja diaminkan oleh semua. Kerabat si bapak yang memanjat pohon kelapa hanya bisa tersenyum menahan tawa melihat tingkah mereka. Kalap, masing-masing menghabiskan sebiji kelapa beserta isinya serta tak lupa mengisi penuh botol-botol air minum mereka untuk bekal melanjutkan perjalanan. Rasa haus yang sebelumnya mencekik kerongkongan membuat kelapa itu menjadi kelapa ternikmat yang pernah mereka rasakan. Sambil menikmati buah kelapa, om Harry menanyakan apakah sebelumnya pernah ada rombongan sepeda yang lewat sini. Si bapak menjawab pernah, tapi sudah lama sekali katanya. Dengan gaya khasnya, om Harry menambahkan “Jangan-jangan lamanya sejak jaman presiden Suharto ya pak?” yang disambut gelak tawa mereka. Baru saja mereka menyelesaikan urusan administrative dengan si bapak, terdengar beberapa kali RC Boni memainkan priwitannya memanggil gembalaannya. Dengan sabar merekapun bergegas memenuhi panggilan menuju warung atas.
Saat kami yang di warung sudah menghabiskan 15 bungkus mie instan dan sebakul besar nasi, pa Anto dan rombongan tiba dengan wajah berseri-seri. Serempak mereka mencari om Boni. Bukan untuk dibully melainkan untuk show-off dan berseloroh kalau mereka telah mendapat anugerah KELAPA MUDA yang tidak dirasakan oleh yang lain. Om Dhany dan om Harry lah yang tampil paling bersemangat memanas-manasin yang lain. Hehe… Kembali kami memesan 15 bungkus mie instan untuk rombongan yang baru tiba. Dan tentunya lagi-lagi sebakul nasi menjadi soulmate-nya. Setelah semua goweser menikmati indomie nasi ternikmatnya, ternyata masih ada sisa. Karena tidak ingin mubadzir, saya dan om Harry tampil sebagai pahlawan berebut barokah. Hehe… Om Boni memperlihatkan GPSnya yang menunjukkan lokasi kami sekarang ternyata baru setengah dari total tanjakan yang akan kami lewati. Itu berarti kami belum bisa tersenyum lebar karena siksaan yang lebih berat sudah menanti. Namun setidaknya kami sangat bersyukur karena sejauh ini kami telah melewati semua tantangan dengan sukses tanpa cedera dan insiden yang berarti. Alhamdulillaah ‘ala kulli haal…
15:00 Tanjakan Sadis – Warung Kedua – Turunan Bengis - Finish Makan sudah, sholat sudah, bayar indomie nasi juga sudah. Rekan-rekan goweser lalu ngumpulin duit untuk disumbangkan ke musholla kecil itu. Walau nilainya tidak seberapa, semoga bisa bermanfaat dan menjadi amal jariyah kami, aamiin… Kekuatan kami sudah hampir pulih. Nafaspun sudah kembali normal. Setelah kami merasa siap, beriringan kami meninggalkan warung pertama melanjutkan perjalanan menembus hutan. Masih tetap menanjak, bahkan makin mancung, kontur jalan kali ini tidaklah berlumpur seperti sebelumnya. Batu kapur cadas besar-besar namun sudah tertanam ke tanah dan hanya menampakkan bagian atasnya. Lembab, basah dan berlumut membuat ban sepeda kami selalu slip geol ke kiri dan kanan. Dan itu berarti power yang kami butuhkan jauh lebih besar. Sebagian tanjakan gowesable dan sebagian lainya harus TTB. Modal bahan bakar mie instant 2 mangkok di warung pertama sepertinya langsung terbakar habis. Bolak-balik kami istirahat dan minum di setiap tanjakan yang terlewati. Rombongan tampak bercerai berai terpisah jauh-jauh. Saya berusaha mengejar kawan-kawan di depan yang sudah tak terlihat. Menoleh ke belakang, saya hanya melihat seorang goweser yang lumayan jauh tertinggal. Saat itu saya tidak lagi mampu mengenalinya karena mata mulai kabur tertutup keringat yang mengalir deras di tengah kekuatan yang kembali drop. Sayapun berusaha menggenjot sepeda lebih kencang, namun apa daya tanjakan sadis yang bertubi-tubi memaksa saya TTB lagi dan lagi. Alhamdulillaah setelah sekian jauh banyak rumah warga desa yang terlihat di kiri kanan jalan. Seperti pengakuan om Arie, di tengah hutan inipun dia tertinggal gowes sendirian. Rasa takut sempat menjadi kekuatan baru saat melihat gerombolan monyet bergelantungan di pohon. Ngeri aja kalau tiba-tiba ketua geng monyet itu merasa tertarik melihat Nomad om Arie, hehe…. Di tengah hutan ini bukan cuman monyet, kemungkinan ular anaconda, babi hutan juga ada. Namun karena jamaah yang lain tidak ada yang melihat monyet seekorpun, kami semua menganggap itu hanya halusinasi om Arie yang sudah kelelahan.
Akhirnya saya melewati beberapa turunan hingga saya sampai di percabangan jalan yang ternyata sudah memasuki desa Cioray. Sendiri tanpa tahu arah. Beruntung di pertigaan itu ada warung kelontong dan banyak rumah warga. Sayapun beristirahat di depan warung menunggu yg masih di belakang. Saya bertanya kepada ibu penjaga warung kemana arah kedua jalan itu. Katanya kalau ke kiri menuju blablabla (saya lupa) dan kalau ke kanan menuju arah gunung putri. Saya yakin kalau pasti rutenya ke kanan. Namun karena kuatir salah, sayapun memutuskan menunggu di warung itu. Lama tak nongol saya membunyikan peluit berkali-kali. Tak ada jawaban. Saya tiup lebih keras, tetap tak ada jawaban. Sayapun memutuskan untuk kembali yang berarti harus nanjak lagi. Baru satu tanjakan terlewati ada mobil pickup yg melintas dengan tiga orang penumpangnya. “Lihat rombongan naik sepeda pak?” tanyaku. “Itu pada ngumpul di warung atas…” jawab si sopir. Yaa… ternyata mereka sedang ngopi-ngopi di sana. Pengennya sih nyusul, tapi karena harus menanjak sayapun mengurungkan niat dan memutuskan kembali menunggu di warung pertigaan tadi. Rasa lapar kembali menyerang. Dan bisa ditebak bahwa di warung kelontong kecil ini, makanan yang pasti ada biasanya mie instan. Tak ada pilihan, sayapun memesan sebungkus indomie rebus, namun kali ini pake TELOR bukan nasi. Dengan lahap indomie telor saya sikat habis. Seumur hidup, baru kali ini saya makan Indomie 3X dalam sehari. Rekor baru yang saya pecahkan di CIORAY! Rekor yang akan kuukir dengan tinta emas dalam sejarah perjalanan hidupku. Hehe…lebay.
Tak lama berselang, rombongan goweser tiba. Senangnya bukan main melihat mereka. Perjalanan pun kami lanjutkan dengan mengambil jalan ke kanan melewati perumahan penduduk yang ramai. Jalanan tetap turun naik, namun kali ini lumayan adil. Meskipun begitu tetap TTB berulang kali. Beberapa kali kami melihat motor yg lewat kesulitan untuk menanjak karena basah dan licinnya jalan. Bahkan om Dedi sempat turun sepeda untuk membantu mendorong motor warga yang kesulitan melewati tanjakan. Two thumbs up buat om Dedi. Bayangkan, motor aja sampe ngeden, bagaimana sepeda? Syukur-syukur tidak ada goweser yang turun bero’. Masih ingat ucapan om Raafi, “Ini namanya track ghuluw…” Berlebihan dan melewati batas, hehe… Alhamdulillaah, hujan rintik-rintik mulai turun. Setelah melewati perumahan penduduk desa, saatnya kami menikmati merosot dan meliuk-liuk di turunan sepanjang 10km seperti janji om Boni. Di depan kami terpampang kaki gunung yang menghampar luas dengan rerumputan dan pohon-pohon. Jalan turunan batu cadas berwarna putih tampak kontras dengan hijaunya rerumputan kiri dan kanan. Sungguh indah dan sejuk di mata.
Tiba-tiba rasa kangen untuk menikmati perosotan panjang seketika hilang saat melewati turunan pertama. Ternyata batu cadas yang menyelimuti jalan itu sepertinya baru ditebar dan belum melalui proses pengerasan. Batunya nongol besar-besar dan bergerak-gerak saat dilindas ban sepeda kami. Otomatis ini menimbulkan getaran yang hebat di seluruh bagian sepeda dan menjadi bahaya tersendiri. Setelah beberapa menit badan berguncang-guncang, otot-otot tangan serasa mau kram dan sendi-sendi terasa mau copot. Saya yang kebetulan memakai fulsuspun merasakan bokong bertambah panas dihajar sadel. Bagaimana dengan om Ali yang pakai hardtail ya? Semoga batu akiknya baik-baik aja., hehe… Hujan tiba-tiba deras seolah-olah ingin menambal rasa kecewa karena perosotan panjang yang tidak senikmat bayangan kami. Barulah kami sadar bahwa ternyata turunan tidak selamanya nikmat. Di sini ketahanan tubuh dan kualitas sepeda diuji. Beberapa insiden terjadi. Om Dedi bocor ban dan om Iko patah RD. Seloroh om Iko yang sebelumnya mengatakan, “Disini merek tidak pengaruh!” ternyata terjawab. Quality does matter!
Sepuluh kilometer yang kami nanti-nanti dan berharap menjadi klimaks GoBar ini ternyata berubah menjadi tantangan tersendiri. Namun semua ada batasnya, ada endingnya, begitupun perjalanan panjang ini. Perasaa lega, bahagia bercampur haru menyelimuti perasaan kami ketika sampai dengan selamat di warung Suka Makmur sekitar pukul 6 sore. Sebagian goweser langsung memesan indomie rebus sebagai food of the day, namun bagi saya cukup untuk hari ini. Lain halnya om Uus yang minum bodrex di warung kedua, di sini giliran om Dhany yang minum panadol sedangkan om Ali menelan promag. Sambil istirahat, kami bermusyarawah dan memutuskan untuk loading pickup ke Legenda Wisata mengingat waktu yang semakin larut dan kondisi goweser yang kelelahan. Ada empat pick up yang kami sewa untuk mengangkut 28 goweser. Tapi ternyata om Ade memutuskan untuk lanjut gowes seorang diri sampai garis finish. Luar biasa, tetap istiqomah memegang komitmen awal. Setelah kurang lebih sejam di atas pickup diterpa angin dan hujan rintik-rintik, akhirnya kami sampai dengan selamat di Legenda Wisata yang langsung disuguhi teh panas manis oleh tuan rumah. Alhamdulillaaah…. Perjalanan panjang dan luar biasa hari ini memberikan banyak pelajaran bagi kami. Mengajarkan kami bahwa bersepeda adalah olahraga yang penuh petualangan. Dan petualangan itu tidak selamanya sesuai rencana, unpredictable. Namun disitulah seninya, letak kenikmatannya. Kenikmatan saat dimana rasa putus asa dan pantang menyerah berlomba menjadi pemenang. Dan kami anggota MAG yang baru seumur jagung beserta kawan kawan FR dan KGS telah membuktikan bahwa dengan tekad yang kuat dan persaudaraan yang solid, kami mampu melewati semua tantangan hari ini hingga semangat kami tampil sebagai juara. Cerita ini kami harap menjadi pelajaran sekaligus undangan (baca: tantangan) terbuka buat goweser lain yang belum mencicipi track ini. Track yang dijuluki “Tanjakan Sadis Turunan Bengis” oleh pak Anto.
Tak lupa kami mengucapkan Jazaakumullohu khoiron kepada: Om Boni sebagai RC yang walau cedera dengkul tetap memenuhi amanah memimpin kami. Om Aziz selaku marshal yang sebenarnya kurang fit namun setia mengawal kami. Pa Anto yang menjamu kami dari awal hingga akhir. Om Adhany yang telah mengagendakan acara ini. Eyang Mudjiono yang telah mengajarkan arti pantang menyerah. Om Dedi yang menolak track Pengalengan karena ingin gowes local + dengar tausiyah namun sayang tausiyahnya tertunda. Om Harry yang senantiasa membuat kami tertawa dan tersenyum sebagai pelipur lara di sepanjang jalan. Rekan-rekan FR & KGM yang lain yang bersedia menjadi special guest MAG untuk berbagi pengalaman. Semua sahabat MAG yang tetap solid dan bahu membahu dalam suka dan duka. Barokallohu fiikum. Sampai jumpa di event berikutnya. Wassalamu alaikum warohmatulloh…
My Simple BlogBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya