Mulutmu harimaumu
Berbicara, pekerjaan berkomunikasi dengan seseorang atau beberapa orang lebih. Dengan berbicara, membuka ruang informasi, terutama dalam membicarakan apa yang dipikirkan dan berkomentar tentang apa yang dipikirkan orang. Namun, berbicara yang berlebih dan tidak mengindahkan kepentingan lawan bicara akan sangat merepotkan.
Orang yang terlalu banyak bicara, dapat dipastikan sangat otoriter karena tidak memberikan ruang kepada orang lain untuk juga berbicara. Merasa dengan apa yang dikatakannya sebagai yang paling benar atau yang paling layak untuk dituruti orang lain. Bahkan, berbicara berlebih pada lawan bicara mungkin bisa jadi menghilangkan titik fokus dari pembicaraan itu sendiri.
Apalagi ketika berbicara, dilakukan untuk memotong pembicaraan orang lain. Hal ini mungkin sangat mengganggu hak orang lain untuk diperhatikan ketika mereka berbicara. Bisa pula, menjadi tidak sopan, karena tidak menghargai orang lain untuk berpendapat dan banyak kebudayaan di Indonesia mengajarkan bahwa memotong pembicaraan orang lain itu perbuatan tidak sopan (baca : berbudaya).
Sehingga, berbicara bisa menimbulkan hal negatif. Dinilai tidak sopan, tidak menghargai dan ingin menang sendiri. Pepatah "diam itu emas" mungkin lebih baik diterapkan, daripada berbicara tanpa memperhatikan etika yang dapat menyebabkan sebagai harimau - mulutmu harimaumu.
Budaya Mendengar
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki kultur lisan (baca : berbicara), dan memang kenyataan itu begitu kental. Bahkan budaya menulis pun masih sangat memperihatinkan jika melirik pada budaya bangsa ini, banyak suku (baca : bangsa) di Indonesia tidak memiliki abjad atau huruf sendiri dan hanya sebagian kecil yang memiliki abjad sendiri - contohnya Bugis Makassar dengan Lontara yang terbagi dalam 4 (empat) jenis penggolongan huruf.
Apalagi, ketika berbicara tentang budaya mendengar. Mungkin budaya ini sangat tidak populer bagi sebagian masyarakat, padahal budaya mendengar sangat dibutuhkan bagi siapapun apalagi sebagai pemimpin. Semua profesi terkadang kehilangan budaya mendengarnya, dan ini berakibat pada penangkapan respon atau pesan cenderung diposisikan sebagai superior dan pemberi pesan (baca : lawan bicara) cenderung diposisikan inferior.
Akibatnya, pesan tidak dicerna dengan baik, tidak dipahami dengan sempurna dan tidak memahami kondisi psikologis dari si pemberi pesan atau lawan bicara. Terutama dalam kondisi psikologis, lawan berbicara akan merasa kurang dihargai dengan sikap mengiakan apa yang lawan bicara katakan, padahal muatan kepentingan dari lawan bicara kurang ditangkap. Inilah persoalan kecil yang terkadang menjadi besar, misalnya saja dalam kehidupan rumah tangga, bertetangga, bermasyarakat maupun berbangsa dan bernegara.
Membudayakan membuka telinga, sangat berefek positif bagi pemberian ruang kepada orang lain untuk menyampaikan secara penuh apa yang ingin dikatakannya. Sehingga, secara psikologis lawan bicara akan dihargai, merasa direspon secara sepenuhnya, dianggap telah diperhatikan, dan akan mendapatkan respon balik yang positif pula.
Banyak mendengar, akan memposisikan diri pada posisi menaungi, bijaksana dan mengayomi. Menimbulkan kedewasaan bagi setiap orang yang menerapkannya, dengan mencerna sepenuhnya apa yang dikatakan lawan bicara dan kemudian merespon dengan tidak menimbulkan posisi perlawanan tapi posisi mengalirkan apa yang diinginkan lawan bicara sehingga tidak terjadi sumbatan pembicaraan ataupun yang paling parah benturan pembicaraan (baca : konflik). Hal ini dapat mengakibatkan, terhindar dari pertengkaran bagi hubungan pasutri, hubungan atasan dan bawahan, ataupun pimpinan dan bawahan juga hubungan horisontal yang memiliki posisi setara.
Budaya mendengar, juga memiliki kelebihan dalam penyerapan informasi yang lebih banyak, beragam dan bervariasi. Tinggal bagaimana kemudian kecakapan mengolah informasi itu dalam bentuk mengklasifikasikan kata kunci- kata kunci yang terserap, memahami inti persoalan, maupun memilah masalah yang datang dari sebuah informasi. Hal inilah yang paling sering digunakan wartawan - namun tak semua wartawan mampu menggunakannya - tapi sangat jarang dilakukan oleh anggota Dewan, pemimpin negara, guru, dosen dan suami.
Mencerna pesan lawan bicara atau penyampai pesan terhadap penerima pesan, kemudian mengolah pesan itu; memilah, mengklasifikasikan, menemukan ide, dan mendapatkan atau merumuskan solusi. Dari solusi itulah, pengambilan sikap dapat dilakukan secara matang, bijaksana dan terlihat dewasa. Sehingga penilaian orang terhadap sosok diri pribadi akan cenderung positif, cerdas dan cool.
Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H